Minggu, 25 Desember 2022

Seri Ketujuh - Gambaran Syahadat yaang Potensial

 



Dengan motivasi sebagai khalifah, semangat dan gairah turun ke lapangan mengambil alih sekian banyak tanggung jawab akan lebih tinggi, sebab menyangkut kondite di mata penilaian Allah.

               Membayangkan apa yang dilakukan Allah dalam al-Qur’an, mengenaik kehebatan dan keunggulan iman seperti didemonstrasikan oleh kaum mu’min, serta penjelasan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang lebih dipertegas begitu tajam, begitu gamblang, sangat merangsang kita untuk juga menikmatinya.

               Termasuk yang dijadikan motto majalah Suara Hidayatullah: ‘Nyatakan tiada illa selain Allah, pasti menang’. Motto itu sungguh membuat kita penasaran. Semudah itukah kemengangan bisa dicapai, sekedar mengucapkan kalimat yang sangat sederhana itu, sudah jaminan kalau pasti menang.

               Itu yang dicari, dan diperlukan, sebab kenyataan berkata tidak. Jangankan kemenangan pada semua front perjuangan, bayangan dan tanda kemenangan itupun tidak terlihat. Bahkan disana-sini kita temukan bukan saja kekalahan, tetapi hampir merupakan kehancuran yang fatal.

               Syahadat yang tidak beres, itu yang paling tepat, kalau diukur dengan apa yang terjadi di lapangan. Sebaiknya kita mengaku secara jujur, bahwa syahadat kita selama ini belum melahirkan kehebatan. Semua berjalan dan bahkan berlalu tidak dengan kesan membekas tajam. Tidak ada goresan yang memberi nilai tambah. Semua terasa biasa-biasa saja.

               Itu yang sulit kita terima. Mana mungkin ungkapan yang dijamin punya kehebatan luar biasa tidak memberi goresan dan kesan yang membekas dengan kadar kehebatan yang tercermin dalam jiwa, dan sikap kehidupan sehari-hari.

               Para sahabat di zaman Rasulullah masing-masing tampil dengan keunggulan yang luar biasa. Mengangumkan, dan sangat menakjubkan. Penuh dengan ha yang mengundang pengakuan dan penghargaan. Hampir semuanya serba luar biasa.

               Padahal itu semua terjadi pada saat kajian mereka baru pengantar syahadat yang benar. Akan tetapi kepatuhan mereka sudah luar biasa, nyaris uslit dapat di menegerti kalau itu semua bisa terjadi. Meskipun yang mereka ketahui, atau kaji baru berkisar pada syahadat, namun sudah cukup nilai tambah yang berhasil mereka perlihatkan yang terlalu sulit untuk dilakukan oleh mereka yang belum bersyahadat.

               Kualitas ini hampir merata dalam barisan para sahabat. Kendatipun cukup bervariasi dalam bentuknya, tetapi merata dalam mutunya. Nampak dalam sikap keseharian bahwa mereka sudah menemukan secara pasti apa yang sesungguhnya mereka cari.

               Mereka merasakan sangat beruntung  mendapatkan karunia semahal itu. Mereka termasuk diantara yang dipilin oleh Allah memperoleh keberuntungan itu, sehingga merasa sangat berhutang budi atas kemurahan Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak heran kalau untuk ini itu seluruh diri dan miliknya siap dikorbankan di jalan Allah Subhanahu wa wa’ala. Kalau melihat yang demikian, sebenarnya hal itu menjadi sesuatu yang wajar saja.

               Ada jaminan yang sangat meyakinkan, bahwa hari depan mereka cerah sehingga tidak perlu lagi cemas terhadap nasibnya besok. Bayangan surga selalu menggoda, muncul setiap saat dalam bayangan yang menggiurkan, sangat menyenangkan. Membayangkan kenikmatan di surga itulah, membuat mereka tidak tergoda lagi kenikmatan dunia. Tidak ada lagi yang terlalu menarik, menyita pikiran terlalu banyak sebagaimana orang lain yang belum menikmati potensi syahadat tersebut.

               Kita tidak perlu heran melihat sikap mereka yang terkadang seperti acuh terhadap dunia. Bukan mengada-ada tetapi persis seperti itulah hakikat keberadaannya, sebagai wujud kualitas keyakinannya. Bagi mereka buat apalagi harus mengejar dan membuang waktuhanya sekedar untuk kenikmatan materi di dunia toh nanti pada akhirnya pasti akan ditinggalkan juga. Apalagi semua kenikmatan materi akan dituntut pertanggungjawabannya dihadapan Allah Subhanahu wa ta’ala. Untuk apa mengumpulkan harta yang kadang bisa jadi hambatan, ancaman, halangan, atau minimal mengurangi kadar kebahagiaan kelak nanti di akhirat.

               Di sinilah letaknya kenapa dibalik kewajiban bersyahadat itu, terundang keharusan penajaman serta penyegaran tugas sebegai khalifah setiap saat.

Aneh memang kedengarannya, tetapi tidak. Bahkan mereka menilai manusia yang terlalu sibuk mengumpulkan harta hanya sekedar kenikmatan di dunia tanpa mempersiapkan dirinya untuk mencicipi kebahagiaan kelak nanti di akhirat, bukan saja aneh, tetapi malahan terheran-heran iba, sebab hal tersebut baginya adalah ketidakwarasan alias gila. Sebab sesuatu yang akan ditinggalkan justru yang membuat sibuk, sementara yang pasti dan kekal abadi malahan tidak mendapat perhatian yang wajar. Terlalu sulit untuk mereka terima pemikiran yang tidak logis itu.

Dalam kedudukannya sebagai hamba, ia tidak berharap apa-apa kecuali dekat kepada Allah. Itulah pemikiran dasarnya. Akan tetapi dalam posisinya sebagai khailfatullah di muka bumi ini, mereka berusaha semaksimal mungkin mencapai Kondite paling baik di mata penilaian Allah Subhanahu wa ta’ala, dengan mengambil banyak tanggung jawab, berusaha mencapai kondisi yang memungkinkan mereka bisa berbuat baik sebanyak mungkin. Sehingga tidak heran manakala merekapun tampil berkibar-kibar di lapangan. Bukan lagi untuk kepentingan dirinya, tetapi oleh rasa tanggung jawabnya, oleh tugasnya sebagai khalifah. Itu saja yang membuatnya masih tampil di lapangan.

Kalau untuk dirinya tidak ada lagi persoalan. Baginya sudah selesai, yang dia cari sudah ditemukan, tinggal menekuninya saja. Sederhana sekali format berpikirnya bila untuk dirinya. Untungnya, Allah telah menetapkan dua status, dua fungsi. Disamping sebagai hamba juga sebagai khalifah, yang mengimbangi kecendrungan untuk asyik dengan kebahagiaanya seorang diri saja, mendekatkan dirinya kepada Allah yang memang dicarinya, dengan kiprahnya kepada sesamanya.

Kekhawatiran kalau pikir berlandaskan syahadat yang mantap akan membunuh atau mengurangi kreatifitas, karena gairah kepada kenikmatan dunia sudah sekali voltasenya, adalah tidak benar. Sebab tugas sebagai khalifah mendorong mereka turun kelapangan dengan  motivasi yan glebih tinggi, daripada motivasi yang hanya dikarenakan oleh kenikmatan dunia semata.

Memang ada beberapa orang yang terjebak oleh pemikiran dasar tadi. Mereka hanya asyik beribadah untuk dirinya, tidak mengimbangi atau melengkapinya dengan aplikasi tugasnya sebagai seorang khalifah di muka bumi. Sehingga memberi citra yang cukup negatif, yang sering dibesar-besarkan oleh mereka yang memang sengaja memberi gambaran negatif terhadap Islam.

Inilah yang kemudian dijadikan alasan mereka yang tidak bisa konsekuen dan konsisten dengan ajaran Islam. Mereka menganggap, kalau terus berpegang kepada prinsip Islam tidak akan ada kemajuan, sebab jadinya kita pasrah dengan realitas, sambil tinggal menunggu ajal saja. Ajaran Islam sama sekali tidak demikian wujudnya.

Malahan sebenarnya dengan motivasi sebagai khalifah, justru semangat dan gairah turun ke lapangan mengambil alih sekian banyak tanggung jawab akan lebih tinggi, sebab menyangkut kondite di mata penilaian Allah.

Posisi kekhalifahan menuntut mereka memanfaatkan semua waktu dan fasilitas secara maksimal, untuk penyebaran dan pencipataan kondisi rahman dan rahim bagi semua umat manusia. Di samping tugas lain yang lebih berat lagi, yaitu mengusahakan supaya kehidupan di muka bumi ini betul-betul Islami, paling tidak semua orang merasakan dan menyaksikan betapa nikmat dan manusiawinya kehidupan yang islami itu.

Prinsip hidup ini sangat ideal. Dua tugas dan kewajiban yang sama-sama pentingnya ternyata saling menopang. Karena sadar betapa beratnya tugas sebagai khalifah mendorong mereka untuk terus mendekatkan diri kepada Allah supaya memperoleh tambahan kekuatan. Sehingga ibadahnya pun jadi bertambah sebagai upaya menyerap potensi Ilahiyah dan Rabbani.

Kekuatan tambahan yang mereka miliki, dirasakan sebagai amanat yang harus di manfaatkan untuk semua umat manusia bahkan untuk segenap alam ini. Tidak terbatas guna kepentingan orang Islam saja, tetapi lil ‘alamiin, lewat berbagai macam usaha dan proyek pembangunan serta perjuangan.

Dengan motivasi yang berbeda, merekapun turut membaur dengan orang lain melakukan kegiatan, pada sektor ekonomi umpamanya. Kalau orang lain tenggelam sehari penuh mencari uang karena diperbudak oleh harta, mereka dengan modal syahadat melakukan hal sama tetapi bukan karena sebagai budak tetapi sebagai khalifah yang punya tanggung jawab kepada Allah subhanau wa ta’ala.

Merebut posisi dan jabatan umpamanya, seperti halnya berusaha mendapatkan kekayaan, semuanya bukan karena ambisi pribadi, semuanya hanya karena tugas, semata karena kewajiban. Menambah pengetahuan, melanjutkan sekolah dan pendidikan sama halnya, adalah dalam rangka untuk dapat mewujudkan tugas kekhalifahannya.

Hanya dengan terus meningkatkan kemampuan pada semua sektor kehidupan, yang menyangkut ekonomi, politik, intelektualitas serta fasilitas di samping kemampuan manejemen organisasi dan semacamnya, barulah ada kemungkinan tugas kekhalifahan dapat dilaksanakan dengan baik dan sempurna.

Tetapi manakala kita serba kekurangan dalam hampir semua hal, jangankan tugas khalifah yang dapat kita wujudkan, tugas sebagai hamba pun bisa terbengkalai.

Menghadapi kemungkinan yang seperti itu pulalah sebenarnya, sehingga syahadat tidak mungkin bisa ditawar, harus mengawalai secara prinsip  proses keislaman seseorang. Itu pula sebabnya sehingga Rasulullah menganjurkan iman yang menjadi kandungan dari syahadat itu perlu diperbarui selalu, dengan lebih sering dan lebih banyak mengucapkan kalimat tersebut. Tentu saja dengan penghayatan makna dan isinya, sebagai upaya menghadang kemungkinan yang disebutkan tadi.

Jelas tidak cukup hanya dengan mengulang-ulang kalimatnya saja tetapi harus diambil langkah-langkah pengamanan, sebagai upaya antisipasi yang kongkrit, dan wujud adanya sikap konsekuen terhadap statemen dan seluruh makna yang dikandung oleh kalimat syahadat tersebut. Adalah tidak bertanggung jawab bilamana membiarkan diri hanyut dan hancur dalam kondisi serba kekurangan dan hanya pasrah menyerahkan diri sepenuhnya kepada takdir ketentuan Allah saja, tanpa ada upaya nyata, pada saat masih ada kemampuan untuk mengambil inisiatif.

Mungkin saja secara pribadi untuk jangka tertentu bisa bertahan konsekuen dengan syahadat, tetapi untuk waktu yang lebih lama, untuk istri dan anak kita, untuk yang lain ada kaitan hidupnya dengan kita, tiada jaminan untuk kita katakan bisa bertahan seperti yang diinginkan.

Disinilah sesungguhnya gambaran daripada apa yang dimaksud dengan konsekuensi syahadat tersebut. Jelas kalau dengan ucapan saja, tidak mungkin adanya syahadat yang potensial, sulit dijamin kualitasnya, bahkan hanya membuka peluang kemunafikan bagi mereka yang sesungguhnya belum menghayati persis makna syahadat.

Berbeda halnya di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Semua orang langsung menyaksikan apa akibat yang harus diterima bagi mereka yang bersyahadat. Mereka harus mempersiaokan diri untuk itu. Mereka harus mengerti dan paham betul-betul kalai ucapan syahadatnya tersebut merupakan awal dari suatu kisah panjang yang mengguyur air mata dan darah, sehingga tidak mungkin seenaknya orang mengucapkan syahadat.

Dengan demikian tidak mungkin ada orang yang mengucapkan syahadat dengan main-main, sebab ini bukan permainan. Ucapan ini meminta dan menuntut nyawa sebagai taruhan. Kalau tidak siap pikirkan dulu baik-baik, pertimbangkan ulang, jangan gegabah, jangan keburu, sebab cerita syahadat tidak berakhir sampai disitu.

Itulah sebabnya, orang-orang Islam di zaman Nabi rata-rata memperlihatkan kualitas yang mengagumkan. Sebab mereka mengucapkan syahadat dengan mental siap menerima segla resiko, bagaimanapun berat dan pahitnya, sampai kepada maut sekalipun. Mereka sangat siap, apalagi kalau hanya sekedar pengorbanan harta dan tenaga saja. Semuanya itu belum merupakan pengorbanan, belum seperti yang dicatat dalam sejarah seperti Nabiyullah Ibrahim atas anaknya.

Dengan syahadat tersebut pada hakikatnya mereka telah menjual diri sepenuhnya kepada Islam untuk dimanfaatkan buat kepentingan Islam. Kalau namanya tugas dan kewajiban untuk Islam tidak ada dan tidak mungkin ada yang ditawar. Mereka menganggap tidak punya hak lagi sama sekali pada dirinya, sebab seluruh dirinya adalah untuk Islam semata.

Bahkan adanya kesempatan baginya berkorban justru merupakan nilai tambah kebahagiannya. Sebab hanya dengan itu mereka berkesempatan mengujicoba dan membuktikan keaslian dan keabsahan serta mutu syahadatnya. Baginya, hidup yang masih sisa adalah peluang menambah dan meningkatkan kadar kualitas syahadatnya. Dengan memberi pengorbanan sebanyak-banyaknya sebagai jaminan untuk meraih kenikmatan yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala.

Demi dan untuk kepentingan kelak nanti di akhirat tidak ada tugas yang ditawar, tidak ada beban yang ditampik. Yakin dan percaya sepenuhnya kalau di sanalah hidup yang sesungguhnya, di sanalah hidup yang kekal abadi, sementara hidup yang di dunia ini karena sifatnya sementara justru adalah tempat mempersiapkan bekal untuk kepentingan hidup kelak nanti di sana. Dunia adalah tempat berjuang buat kepentingan hidup yang lebih nyata di akhirat, bukan tempat menikmati. Nikmatnya justru berjuang dan berkorban itu.

Kadang memang terkesan aneh, sulit sekali diterima oleh akal standar biasa yang sudah umum berlaku. Bagaimana mungkin tidak memerlukan lagi apa yang orang pada umumnya mabuk dan sangat gila mengejarnya siang dan malam? Mereka sudah melampaui tahapan-tahapan tersebut.

Terlalu kasar barangkali kalau kita umpamakan perbandingan antara orang yang beum bersyahadat dengan yang telah bersyahadat. Sebagai misal antara anak-anak dan orang dewasa yang betul-betul sudah sangat dewasa.

Anak-anak sangat memerlukan barang mainan dan baginya sangat berharga sekali, tetapi bagi orang dewasa sudah lain yang mereka perlukan. Sesuatu yang jauh lebih berharga daripada mainan tersebut, yang bagi anak-anak pikirannya belum sampai. Perbedaan penilaian itu akibat adanya perbedaan tingkat kedewasaan dan kadar pemahaman.

Syahadatlah yang membuat mereka lebih dewasa dalam menilai kehidupan ini sesungguhnya. Tingkat kualitas syahadat yang menentukan kadar kedewasaan seseorang di dalam hal ini. Para sahabat merupakan contoh manusia dengan tingkat kedewasaan yang bermutu tinggi.

Bersambung..

Musim liburan namun coba tetap menjaga keistiqomahan walau mengalami keterlambatan.

Seri Kesepuluh - Pernyataan Menuntut Kenyataan -

Dalam beberapa ayat yang disebut aamanuu, teriring pula kata wa ‘amilush-shaalihat. Kenapa? Karena Islam bukan agama kebatinan yang cukup di...