Dengan motivasi sebagai khalifah, semangat dan gairah turun ke lapangan
mengambil alih sekian banyak tanggung jawab akan lebih tinggi, sebab menyangkut
kondite di mata penilaian Allah.
Membayangkan apa yang dilakukan
Allah dalam al-Qur’an, mengenaik kehebatan dan keunggulan iman seperti
didemonstrasikan oleh kaum mu’min, serta penjelasan Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam yang lebih dipertegas begitu tajam, begitu gamblang,
sangat merangsang kita untuk juga menikmatinya.
Termasuk yang dijadikan motto
majalah Suara Hidayatullah: ‘Nyatakan tiada illa selain Allah, pasti
menang’. Motto itu sungguh membuat kita penasaran. Semudah itukah kemengangan
bisa dicapai, sekedar mengucapkan kalimat yang sangat sederhana itu, sudah
jaminan kalau pasti menang.
Itu yang dicari, dan diperlukan,
sebab kenyataan berkata tidak. Jangankan kemenangan pada semua front
perjuangan, bayangan dan tanda kemenangan itupun tidak terlihat. Bahkan
disana-sini kita temukan bukan saja kekalahan, tetapi hampir merupakan
kehancuran yang fatal.
Syahadat yang tidak beres, itu
yang paling tepat, kalau diukur dengan apa yang terjadi di lapangan. Sebaiknya
kita mengaku secara jujur, bahwa syahadat kita selama ini belum melahirkan
kehebatan. Semua berjalan dan bahkan berlalu tidak dengan kesan membekas tajam.
Tidak ada goresan yang memberi nilai tambah. Semua terasa biasa-biasa saja.
Itu yang sulit kita terima. Mana
mungkin ungkapan yang dijamin punya kehebatan luar biasa tidak memberi goresan
dan kesan yang membekas dengan kadar kehebatan yang tercermin dalam jiwa, dan
sikap kehidupan sehari-hari.
Para sahabat di zaman Rasulullah
masing-masing tampil dengan keunggulan yang luar biasa. Mengangumkan, dan
sangat menakjubkan. Penuh dengan ha yang mengundang pengakuan dan penghargaan.
Hampir semuanya serba luar biasa.
Padahal itu semua terjadi pada
saat kajian mereka baru pengantar syahadat yang benar. Akan tetapi kepatuhan
mereka sudah luar biasa, nyaris uslit dapat di menegerti kalau itu semua bisa
terjadi. Meskipun yang mereka ketahui, atau kaji baru berkisar pada syahadat,
namun sudah cukup nilai tambah yang berhasil mereka perlihatkan yang terlalu
sulit untuk dilakukan oleh mereka yang belum bersyahadat.
Kualitas ini hampir merata dalam
barisan para sahabat. Kendatipun cukup bervariasi dalam bentuknya, tetapi
merata dalam mutunya. Nampak dalam sikap keseharian bahwa mereka sudah
menemukan secara pasti apa yang sesungguhnya mereka cari.
Mereka merasakan sangat
beruntung mendapatkan karunia semahal
itu. Mereka termasuk diantara yang dipilin oleh Allah memperoleh keberuntungan
itu, sehingga merasa sangat berhutang budi atas kemurahan Allah Subhanahu wa
ta’ala, tidak heran kalau untuk ini itu seluruh diri dan miliknya siap dikorbankan
di jalan Allah Subhanahu wa wa’ala. Kalau melihat yang demikian,
sebenarnya hal itu menjadi sesuatu yang wajar saja.
Ada jaminan yang sangat
meyakinkan, bahwa hari depan mereka cerah sehingga tidak perlu lagi cemas
terhadap nasibnya besok. Bayangan surga selalu menggoda, muncul setiap saat
dalam bayangan yang menggiurkan, sangat menyenangkan. Membayangkan kenikmatan
di surga itulah, membuat mereka tidak tergoda lagi kenikmatan dunia. Tidak ada
lagi yang terlalu menarik, menyita pikiran terlalu banyak sebagaimana orang
lain yang belum menikmati potensi syahadat tersebut.
Kita tidak perlu heran melihat
sikap mereka yang terkadang seperti acuh terhadap dunia. Bukan mengada-ada
tetapi persis seperti itulah hakikat keberadaannya, sebagai wujud kualitas keyakinannya.
Bagi mereka buat apalagi harus mengejar dan membuang waktuhanya sekedar untuk
kenikmatan materi di dunia toh nanti pada akhirnya pasti akan ditinggalkan
juga. Apalagi semua kenikmatan materi akan dituntut pertanggungjawabannya
dihadapan Allah Subhanahu wa ta’ala. Untuk apa mengumpulkan harta yang
kadang bisa jadi hambatan, ancaman, halangan, atau minimal mengurangi kadar
kebahagiaan kelak nanti di akhirat.
Di sinilah letaknya kenapa
dibalik kewajiban bersyahadat itu, terundang keharusan penajaman serta
penyegaran tugas sebegai khalifah setiap saat.
Aneh
memang kedengarannya, tetapi tidak. Bahkan mereka menilai manusia yang terlalu
sibuk mengumpulkan harta hanya sekedar kenikmatan di dunia tanpa mempersiapkan
dirinya untuk mencicipi kebahagiaan kelak nanti di akhirat, bukan saja aneh,
tetapi malahan terheran-heran iba, sebab hal tersebut baginya adalah
ketidakwarasan alias gila. Sebab sesuatu yang akan ditinggalkan justru yang
membuat sibuk, sementara yang pasti dan kekal abadi malahan tidak mendapat
perhatian yang wajar. Terlalu sulit untuk mereka terima pemikiran yang tidak
logis itu.
Dalam
kedudukannya sebagai hamba, ia tidak berharap apa-apa kecuali dekat kepada
Allah. Itulah pemikiran dasarnya. Akan tetapi dalam posisinya sebagai
khailfatullah di muka bumi ini, mereka berusaha semaksimal mungkin mencapai Kondite
paling baik di mata penilaian Allah Subhanahu wa ta’ala, dengan
mengambil banyak tanggung jawab, berusaha mencapai kondisi yang memungkinkan
mereka bisa berbuat baik sebanyak mungkin. Sehingga tidak heran manakala
merekapun tampil berkibar-kibar di lapangan. Bukan lagi untuk kepentingan
dirinya, tetapi oleh rasa tanggung jawabnya, oleh tugasnya sebagai khalifah.
Itu saja yang membuatnya masih tampil di lapangan.
Kalau
untuk dirinya tidak ada lagi persoalan. Baginya sudah selesai, yang dia cari
sudah ditemukan, tinggal menekuninya saja. Sederhana sekali format berpikirnya
bila untuk dirinya. Untungnya, Allah telah menetapkan dua status, dua fungsi.
Disamping sebagai hamba juga sebagai khalifah, yang mengimbangi kecendrungan
untuk asyik dengan kebahagiaanya seorang diri saja, mendekatkan dirinya kepada
Allah yang memang dicarinya, dengan kiprahnya kepada sesamanya.
Kekhawatiran
kalau pikir berlandaskan syahadat yang mantap akan membunuh atau mengurangi
kreatifitas, karena gairah kepada kenikmatan dunia sudah sekali voltasenya,
adalah tidak benar. Sebab tugas sebagai khalifah mendorong mereka turun
kelapangan dengan motivasi yan glebih
tinggi, daripada motivasi yang hanya dikarenakan oleh kenikmatan dunia semata.
Memang
ada beberapa orang yang terjebak oleh pemikiran dasar tadi. Mereka hanya asyik
beribadah untuk dirinya, tidak mengimbangi atau melengkapinya dengan aplikasi
tugasnya sebagai seorang khalifah di muka bumi. Sehingga memberi citra yang
cukup negatif, yang sering dibesar-besarkan oleh mereka yang memang sengaja
memberi gambaran negatif terhadap Islam.
Inilah
yang kemudian dijadikan alasan mereka yang tidak bisa konsekuen dan konsisten
dengan ajaran Islam. Mereka menganggap, kalau terus berpegang kepada prinsip
Islam tidak akan ada kemajuan, sebab jadinya kita pasrah dengan realitas,
sambil tinggal menunggu ajal saja. Ajaran Islam sama sekali tidak demikian
wujudnya.
Malahan
sebenarnya dengan motivasi sebagai khalifah, justru semangat dan gairah turun
ke lapangan mengambil alih sekian banyak tanggung jawab akan lebih tinggi,
sebab menyangkut kondite di mata penilaian Allah.
Posisi
kekhalifahan menuntut mereka memanfaatkan semua waktu dan fasilitas secara
maksimal, untuk penyebaran dan pencipataan kondisi rahman dan rahim
bagi semua umat manusia. Di samping tugas lain yang lebih berat lagi, yaitu
mengusahakan supaya kehidupan di muka bumi ini betul-betul Islami, paling tidak
semua orang merasakan dan menyaksikan betapa nikmat dan manusiawinya kehidupan
yang islami itu.
Prinsip
hidup ini sangat ideal. Dua tugas dan kewajiban yang sama-sama pentingnya
ternyata saling menopang. Karena sadar betapa beratnya tugas sebagai khalifah
mendorong mereka untuk terus mendekatkan diri kepada Allah supaya memperoleh
tambahan kekuatan. Sehingga ibadahnya pun jadi bertambah sebagai upaya menyerap
potensi Ilahiyah dan Rabbani.
Kekuatan
tambahan yang mereka miliki, dirasakan sebagai amanat yang harus di manfaatkan
untuk semua umat manusia bahkan untuk segenap alam ini. Tidak terbatas guna
kepentingan orang Islam saja, tetapi lil ‘alamiin, lewat berbagai macam
usaha dan proyek pembangunan serta perjuangan.
Dengan
motivasi yang berbeda, merekapun turut membaur dengan orang lain melakukan kegiatan,
pada sektor ekonomi umpamanya. Kalau orang lain tenggelam sehari penuh mencari
uang karena diperbudak oleh harta, mereka dengan modal syahadat melakukan hal
sama tetapi bukan karena sebagai budak tetapi sebagai khalifah yang punya
tanggung jawab kepada Allah subhanau wa ta’ala.
Merebut
posisi dan jabatan umpamanya, seperti halnya berusaha mendapatkan kekayaan,
semuanya bukan karena ambisi pribadi, semuanya hanya karena tugas, semata
karena kewajiban. Menambah pengetahuan, melanjutkan sekolah dan pendidikan sama
halnya, adalah dalam rangka untuk dapat mewujudkan tugas kekhalifahannya.
Hanya
dengan terus meningkatkan kemampuan pada semua sektor kehidupan, yang
menyangkut ekonomi, politik, intelektualitas serta fasilitas di samping kemampuan
manejemen organisasi dan semacamnya, barulah ada kemungkinan tugas kekhalifahan
dapat dilaksanakan dengan baik dan sempurna.
Tetapi
manakala kita serba kekurangan dalam hampir semua hal, jangankan tugas khalifah
yang dapat kita wujudkan, tugas sebagai hamba pun bisa terbengkalai.
Menghadapi
kemungkinan yang seperti itu pulalah sebenarnya, sehingga syahadat tidak
mungkin bisa ditawar, harus mengawalai secara prinsip proses keislaman seseorang. Itu pula sebabnya
sehingga Rasulullah menganjurkan iman yang menjadi kandungan dari syahadat itu
perlu diperbarui selalu, dengan lebih sering dan lebih banyak mengucapkan
kalimat tersebut. Tentu saja dengan penghayatan makna dan isinya, sebagai upaya
menghadang kemungkinan yang disebutkan tadi.
Jelas
tidak cukup hanya dengan mengulang-ulang kalimatnya saja tetapi harus diambil
langkah-langkah pengamanan, sebagai upaya antisipasi yang kongkrit, dan wujud
adanya sikap konsekuen terhadap statemen dan seluruh makna yang dikandung oleh
kalimat syahadat tersebut. Adalah tidak bertanggung jawab bilamana membiarkan
diri hanyut dan hancur dalam kondisi serba kekurangan dan hanya pasrah
menyerahkan diri sepenuhnya kepada takdir ketentuan Allah saja, tanpa ada upaya
nyata, pada saat masih ada kemampuan untuk mengambil inisiatif.
Mungkin
saja secara pribadi untuk jangka tertentu bisa bertahan konsekuen dengan
syahadat, tetapi untuk waktu yang lebih lama, untuk istri dan anak kita, untuk
yang lain ada kaitan hidupnya dengan kita, tiada jaminan untuk kita katakan
bisa bertahan seperti yang diinginkan.
Disinilah
sesungguhnya gambaran daripada apa yang dimaksud dengan konsekuensi syahadat
tersebut. Jelas kalau dengan ucapan saja, tidak mungkin adanya syahadat yang
potensial, sulit dijamin kualitasnya, bahkan hanya membuka peluang kemunafikan
bagi mereka yang sesungguhnya belum menghayati persis makna syahadat.
Berbeda
halnya di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Semua orang
langsung menyaksikan apa akibat yang harus diterima bagi mereka yang
bersyahadat. Mereka harus mempersiaokan diri untuk itu. Mereka harus mengerti
dan paham betul-betul kalai ucapan syahadatnya tersebut merupakan awal dari
suatu kisah panjang yang mengguyur air mata dan darah, sehingga tidak mungkin
seenaknya orang mengucapkan syahadat.
Dengan
demikian tidak mungkin ada orang yang mengucapkan syahadat dengan main-main,
sebab ini bukan permainan. Ucapan ini meminta dan menuntut nyawa sebagai
taruhan. Kalau tidak siap pikirkan dulu baik-baik, pertimbangkan ulang, jangan
gegabah, jangan keburu, sebab cerita syahadat tidak berakhir sampai disitu.
Itulah
sebabnya, orang-orang Islam di zaman Nabi rata-rata memperlihatkan kualitas
yang mengagumkan. Sebab mereka mengucapkan syahadat dengan mental siap menerima
segla resiko, bagaimanapun berat dan pahitnya, sampai kepada maut sekalipun.
Mereka sangat siap, apalagi kalau hanya sekedar pengorbanan harta dan tenaga
saja. Semuanya itu belum merupakan pengorbanan, belum seperti yang dicatat
dalam sejarah seperti Nabiyullah Ibrahim atas anaknya.
Dengan
syahadat tersebut pada hakikatnya mereka telah menjual diri sepenuhnya kepada
Islam untuk dimanfaatkan buat kepentingan Islam. Kalau namanya tugas dan
kewajiban untuk Islam tidak ada dan tidak mungkin ada yang ditawar. Mereka
menganggap tidak punya hak lagi sama sekali pada dirinya, sebab seluruh dirinya
adalah untuk Islam semata.
Bahkan
adanya kesempatan baginya berkorban justru merupakan nilai tambah
kebahagiannya. Sebab hanya dengan itu mereka berkesempatan mengujicoba dan
membuktikan keaslian dan keabsahan serta mutu syahadatnya. Baginya, hidup yang
masih sisa adalah peluang menambah dan meningkatkan kadar kualitas syahadatnya.
Dengan memberi pengorbanan sebanyak-banyaknya sebagai jaminan untuk meraih
kenikmatan yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala.
Demi
dan untuk kepentingan kelak nanti di akhirat tidak ada tugas yang ditawar,
tidak ada beban yang ditampik. Yakin dan percaya sepenuhnya kalau di sanalah
hidup yang sesungguhnya, di sanalah hidup yang kekal abadi, sementara hidup
yang di dunia ini karena sifatnya sementara justru adalah tempat mempersiapkan
bekal untuk kepentingan hidup kelak nanti di sana. Dunia adalah tempat berjuang
buat kepentingan hidup yang lebih nyata di akhirat, bukan tempat menikmati.
Nikmatnya justru berjuang dan berkorban itu.
Kadang
memang terkesan aneh, sulit sekali diterima oleh akal standar biasa yang sudah
umum berlaku. Bagaimana mungkin tidak memerlukan lagi apa yang orang pada
umumnya mabuk dan sangat gila mengejarnya siang dan malam? Mereka sudah
melampaui tahapan-tahapan tersebut.
Terlalu
kasar barangkali kalau kita umpamakan perbandingan antara orang yang beum
bersyahadat dengan yang telah bersyahadat. Sebagai misal antara anak-anak dan
orang dewasa yang betul-betul sudah sangat dewasa.
Anak-anak
sangat memerlukan barang mainan dan baginya sangat berharga sekali, tetapi bagi
orang dewasa sudah lain yang mereka perlukan. Sesuatu yang jauh lebih berharga
daripada mainan tersebut, yang bagi anak-anak pikirannya belum sampai.
Perbedaan penilaian itu akibat adanya perbedaan tingkat kedewasaan dan kadar
pemahaman.
Syahadatlah
yang membuat mereka lebih dewasa dalam menilai kehidupan ini sesungguhnya.
Tingkat kualitas syahadat yang menentukan kadar kedewasaan seseorang di dalam
hal ini. Para sahabat merupakan contoh manusia dengan tingkat kedewasaan yang
bermutu tinggi.
Bersambung..
Musim liburan namun coba tetap menjaga keistiqomahan walau mengalami keterlambatan.