Senin, 12 September 2022

Seri Keempat - Dari Mana Rehabilitasi Dimulai?

 

Banyak dari Ummat Islam melihat rumus masuk syurga sebagai sesuatu yang sangat sederhana. Orang bodoh, dan miskin pun punya kemungkinan masuk surga. Anggapan ini menjadi permulaan matinya kreatifitas dan produktifitas ummat. Kekeliruan ini berpangkal pada pemahaman yang membatasi status dirinya hanya sebagai hamba saja, yang tugas dan kewajibannya cukup ditaati menurut kemampuan yang dimilikinya. Lupa akan statusnya sebagai khalifatullah di muka bumi, harus dituntut terus menerus meningkatkan potensi dan kemampuannya di dunia ini.

            Memang sulit kalau dipaksakan sekaligus. Kerja ini memerlukan waktu yang cukup lama, dituntut kesabaran yang tidak tanggung-tanggung. Tantangan terberat jsutru dari kalngan umat Islam sendiri. Kalau kurang hati-hati benturan yang merugikan diri sendiri sulit dihindari.

            Kalau umat bereaksi secara apriori dan menolak ajakan ini, merupakan hal yang wajar. Sebab kondisi yang sudah mapan itu mempunyai unsur keasyikan yang membuat orang cenderung memepertahankannya. Tidak semua gagasan baru akan mendapat sambutan positif, sebelum melihat bukti yang meyakinkan, untuk mereka terima.

            Apalagi memyangkut masalah yang sangat prinsip bagi dirinya, memyangkut persoalan dunia akhirat. Tidak mungkin dapat diselesaikan dalam waktu sekejap. Perlu dikondisikan sedemikian rupa, sehingga pada saat ditawarkan  bertepatan mereka mencari.

            Upaya mengkondisikan inilah yang membutuhkan waktu relative lama, serta cara yang ekstra. Alangkah kagetnya mereka kalau sekonyong-konyong datang tudingan menganggap syahadatnya belum sah, pada saat mereka belum siap mental untuk itu. Bahkan lebih parah bilamana anggapan itu berkonotasi pada pernyataan tidak beriman alias pengkafiran. Kesan ini yang paling mutlak dihindari, harus dijaga jangan sampai ada.

            Namun demikian, sesungguhnya kondisi ini juga cukup menolong. Sebab, sekian lama fakta berbicara bahwa nasib umat Islam dalam jumlah yang sangat besar, bahkan paling besar, tetapi dengan posisi yang tidak menccerminkan kebesaran jumlah tersebut. Bahkan dari hari ke hari perkembangan menunjukkan posisi dan nasib kita makin tidak menguntungkan, jauh lebih buruk dibandingkan masa-masa sebelumnya. Sejarah menjadi saksi bahwa posisi umat Islam semakin memprihatinkan. Kalau irama ini terus berlanjut besok akan lebih buruk lagi.

            Tentu saja ini cukup mengundang pertanyaan yang lebih serius bagi yang memperhatikan, lebih-lebih bagi yang merasakannya. Sebenarnya kondisi ini sudah cukup menolong ditinjau dari keadaannya yang termasuk kondisi dasar. Kondisi itu bisa dijadikan modal untuk menyamakan perasaan dan persepsi terhadap keadaan yang ada, untuk selanjutnya diajak untuk memperbaikinya.

            Sekarang, dari mana perbaikan itu dimulai. Ini pertanyaan yang penting sebab salah dalam memulai akibatnya memupuskan harapan keberhasilan.

            Memperbaiki kualitas umat Islam, harus dimulai dari perbaikan kualitas syahadatnya. Di sini kuncinya. Inilah yang perlu dikondisikan lebih dahulu.

            Banyak dari umat Islam melihat rumus masuk syurga sebagai sesuatu yang sangat sederhana. Orang bodoh, dan miskin pun punya kemungkinan untuk masuk surga. Anggapan ini menjadi permulaan matinya kreatifitas dan produktifitas umat.

            Kekeliruan ini berpangkal pada pemahaman yang membatasi status dirinya hanya sebagai hamba saja, yang  tugas dan kewajibannya cukup ditaati menurut kemampuan yang dimilikinya. Lupa akan statusnya sebagai Khalifatullah di muka bumi, yang dituntut terus menerus meningkatkan potensi dan kemampuannya di dunia ini.

            Seorang khalifah tidak diperkenankan untuk berpangku tangan seorang diri. Tidak diperkenankan untuk asyik memikirkan dirinya seorang. Tugasnya menyebarkan kasih saying untuk dan bagi segenap umat manusia di dunia ini.

            Dari sinilah setiap umat Islam dituntut untuk terus menerus meningkatkan kualitas dirinya daru satu tingkat ke tingkat berikutnya, supaya secara berangsur kewajibannya sebagai khalifah dapat pula mereka tunaikan lebih banyak dan lebih baik.

            Allah subhanahu wa ta’ala mendesain ajaran Islam untuk hal tersebut. Secara sistematis setiap Muslim sebenarnya sudah diantar begitu rapi untuk mencapai tingkat kemampuan itu. Bekal untuk dapat melaksanakan tugas berat ini sebenarnya sudah lengkap disediakan Allah subhanahu wa ta’ala lewat tuntunan teknis dalam ajaran Islam asal dapat dipatuhi dengan baik, dan diarahkan tajam untuk itu.

            Akan tetapi, lagi-lagi kuncinya terletak pada kekuatan dasarnya, yaitu kualitas dan potensialitas dari syahadatnya. Itu yang terlebih dahulu harus diberestuntaskan.

            Dengan demikian, bukan dan jangan Islam yang dikatakan kaku, kurang sesuai dengan kemajuan zaman, kurang cocok untuk zaman semaju sekarang. Masalahnya bukan di situ , akan tetapi itu semua akibat syahadat yang belum eksis, belum mengakar mantap, belum melahirkan kekuatan dasar.

            Timbul dan muncullah berbagai macam keluhan dan sanggahan terhadap penerapan ajaran Islam, beginilah begitulah, tidak sesuailah dengan zaman, tidak cocoklah dengan situasi, tidak relevan dengan kemajuan, dan banyak lagi keluhan dan anggapan lainnya.

            Padahal sebenarnya semua itu terjadi semata-mata karena syahadatnya belum berhasil menciptakan kondisi mentalnya untuk patuh sepenuhnya pada ketentuan ajaran Islam. Syahadatnya impoten. 

Bersambung.
Diiringi Lantunan Sholawat Jibril A.S untuk sang manusia Mulia, Nabiullah Muhammad SAW

Seri Kesepuluh - Pernyataan Menuntut Kenyataan -

Dalam beberapa ayat yang disebut aamanuu, teriring pula kata wa ‘amilush-shaalihat. Kenapa? Karena Islam bukan agama kebatinan yang cukup di...