Banyak dari Ummat Islam melihat rumus masuk syurga
sebagai sesuatu yang sangat sederhana. Orang bodoh, dan miskin pun punya
kemungkinan masuk surga. Anggapan ini menjadi permulaan matinya kreatifitas dan
produktifitas ummat. Kekeliruan ini berpangkal pada pemahaman yang membatasi
status dirinya hanya sebagai hamba saja, yang tugas dan kewajibannya cukup
ditaati menurut kemampuan yang dimilikinya. Lupa akan statusnya sebagai
khalifatullah di muka bumi, harus dituntut terus menerus meningkatkan potensi
dan kemampuannya di dunia ini.
Memang
sulit kalau dipaksakan sekaligus. Kerja ini memerlukan waktu yang cukup lama,
dituntut kesabaran yang tidak tanggung-tanggung. Tantangan terberat jsutru dari
kalngan umat Islam sendiri. Kalau kurang hati-hati benturan yang merugikan diri
sendiri sulit dihindari.
Kalau
umat bereaksi secara apriori dan menolak ajakan ini, merupakan hal yang wajar.
Sebab kondisi yang sudah mapan itu mempunyai unsur keasyikan yang membuat orang
cenderung memepertahankannya. Tidak semua gagasan baru akan mendapat sambutan
positif, sebelum melihat bukti yang meyakinkan, untuk mereka terima.
Apalagi
memyangkut masalah yang sangat prinsip bagi dirinya, memyangkut persoalan dunia
akhirat. Tidak mungkin dapat diselesaikan dalam waktu sekejap. Perlu dikondisikan
sedemikian rupa, sehingga pada saat ditawarkan
bertepatan mereka mencari.
Upaya
mengkondisikan inilah yang membutuhkan waktu relative lama, serta cara yang
ekstra. Alangkah kagetnya mereka kalau sekonyong-konyong datang tudingan
menganggap syahadatnya belum sah, pada saat mereka belum siap mental untuk itu.
Bahkan lebih parah bilamana anggapan itu berkonotasi pada pernyataan tidak
beriman alias pengkafiran. Kesan ini yang paling mutlak dihindari, harus dijaga
jangan sampai ada.
Namun
demikian, sesungguhnya kondisi ini juga cukup menolong. Sebab, sekian lama
fakta berbicara bahwa nasib umat Islam dalam jumlah yang sangat besar, bahkan
paling besar, tetapi dengan posisi yang tidak menccerminkan kebesaran jumlah
tersebut. Bahkan dari hari ke hari perkembangan menunjukkan posisi dan nasib
kita makin tidak menguntungkan, jauh lebih buruk dibandingkan masa-masa
sebelumnya. Sejarah menjadi saksi bahwa posisi umat Islam semakin
memprihatinkan. Kalau irama ini terus berlanjut besok akan lebih buruk lagi.
Tentu
saja ini cukup mengundang pertanyaan yang lebih serius bagi yang memperhatikan,
lebih-lebih bagi yang merasakannya. Sebenarnya kondisi ini sudah cukup menolong
ditinjau dari keadaannya yang termasuk kondisi dasar. Kondisi itu bisa
dijadikan modal untuk menyamakan perasaan dan persepsi terhadap keadaan yang
ada, untuk selanjutnya diajak untuk memperbaikinya.
Sekarang,
dari mana perbaikan itu dimulai. Ini pertanyaan yang penting sebab salah dalam
memulai akibatnya memupuskan harapan keberhasilan.
Memperbaiki
kualitas umat Islam, harus dimulai dari perbaikan kualitas syahadatnya. Di sini
kuncinya. Inilah yang perlu dikondisikan lebih dahulu.
Banyak
dari umat Islam melihat rumus masuk syurga sebagai sesuatu yang sangat
sederhana. Orang bodoh, dan miskin pun punya kemungkinan untuk masuk surga.
Anggapan ini menjadi permulaan matinya kreatifitas dan produktifitas umat.
Kekeliruan
ini berpangkal pada pemahaman yang membatasi status dirinya hanya sebagai hamba
saja, yang tugas dan kewajibannya cukup
ditaati menurut kemampuan yang dimilikinya. Lupa akan statusnya sebagai Khalifatullah
di muka bumi, yang dituntut terus menerus meningkatkan potensi dan
kemampuannya di dunia ini.
Seorang
khalifah tidak diperkenankan untuk berpangku tangan seorang diri. Tidak
diperkenankan untuk asyik memikirkan dirinya seorang. Tugasnya menyebarkan
kasih saying untuk dan bagi segenap umat manusia di dunia ini.
Dari
sinilah setiap umat Islam dituntut untuk terus menerus meningkatkan kualitas
dirinya daru satu tingkat ke tingkat berikutnya, supaya secara berangsur
kewajibannya sebagai khalifah dapat pula mereka tunaikan lebih banyak dan lebih
baik.
Allah
subhanahu wa ta’ala mendesain ajaran Islam untuk hal tersebut.
Secara sistematis setiap Muslim sebenarnya sudah diantar begitu rapi untuk
mencapai tingkat kemampuan itu. Bekal untuk dapat melaksanakan tugas berat ini
sebenarnya sudah lengkap disediakan Allah subhanahu wa ta’ala lewat
tuntunan teknis dalam ajaran Islam asal dapat dipatuhi dengan baik, dan
diarahkan tajam untuk itu.
Akan
tetapi, lagi-lagi kuncinya terletak pada kekuatan dasarnya, yaitu kualitas dan
potensialitas dari syahadatnya. Itu yang terlebih dahulu harus
diberestuntaskan.
Dengan
demikian, bukan dan jangan Islam yang dikatakan kaku, kurang sesuai dengan
kemajuan zaman, kurang cocok untuk zaman semaju sekarang. Masalahnya bukan di
situ , akan tetapi itu semua akibat syahadat yang belum eksis, belum mengakar
mantap, belum melahirkan kekuatan dasar.
Timbul
dan muncullah berbagai macam keluhan dan sanggahan terhadap penerapan ajaran
Islam, beginilah begitulah, tidak sesuailah dengan zaman, tidak cocoklah dengan
situasi, tidak relevan dengan kemajuan, dan banyak lagi keluhan dan anggapan
lainnya.
Padahal sebenarnya semua itu terjadi semata-mata karena syahadatnya belum berhasil menciptakan kondisi mentalnya untuk patuh sepenuhnya pada ketentuan ajaran Islam. Syahadatnya impoten.
Bersambung.
Diiringi Lantunan Sholawat Jibril A.S untuk sang manusia Mulia, Nabiullah Muhammad SAW