Karena Syahadat tidak lagi difungsikan sebagai
alat penyaring, tidak berperan sebagai filter yang dapat mencegah lolosnya kaum
munafiqun menyusup ke dalam barisan kaum Muslimin, maka terjadilah hal-hal yang
tidak diinginkan. Akibat lebih jauh, kaum Muslimin yang seharusnya mampu
memperlihatkan kekuatan secara utuh untuk turut memberi warna dalam kehidupan,
tidak pernah mampu mewujudkan hingga sekarang.
Karena sekian lama iman tidak pernah
dipersoalkan, maka setan dengan mudahnya menyusup masuk. Mereka merayu dan
meninabobokan umat Islam agar tetap merasa bahwa kondisi imannya sudah dalam
mutu dan kadar yang memadai.
Akibatnya,
tidak banyak orang yang merasa prihatin dengan kondisi imanya, atau bahkan
orang-orang yang mempersoalkannya malah dianggap aneh, tidak lumrah. Akhirnya
muncul suatu keyakinan bahwa iman akan tetap lestari, tidak ada kemungkinan
mengalami erosi, tidak ada kemungkinan iman akan menyusut lagi.
Timbullah
anggapan tidak ada hubungan antara kemalasan beribadah dengan iman. Tidak ada
kaitan antara dosa dengan erosi iman. Iman dianggap sebagai sesuatu yang tetap
apa adanya. Adapun soal kejahatan dan kemalasan beribadah adalah persoalan
watak dan kondisi alam sekitar atau lingkungan.
Yang
penting, bagi mereka, tetap percaya dan mengaku ada Tuhan yang menguasai alam
semesta. Itu sudah cukup. Itulah iman. Ucapan syahadat sekedar ucapan formalitas
pengukuhan dan pembuktian adanya kepercayaan itu. Syahadat bisa diucapkan kapan
saja dan di mana saja, baik disaksikan orang atau tidak. Itu bukan persoalan. Sedang
apa yang terjadi kemudian adalah urusan pribadi masing-masing individu, yang tidak
perlu dikaitkan dengan syahadatnya. Tidak ada hubungan antara perilaku sehari-hari
dengan kadar iman.
Begitu
rata-rata keyakinan dan pendirian umat Islam yang ditemukan di lapangan. Hal ini
sering dengan lantang disuarakan oleh golongan menengah ke atas, sebagai wakil
bagi mereka yang belum sanggup membahasakan secara langsung. Kecuali sekedar nampak
dalam sikap dan tindakan keseharian.
Belum
tentu mereka yang salah sepenuhnya. Ada kemungkinan akibat kurangnya informasi
yang mereka terima. Seolah – olah iman umat Islam yang jumlahnya cukup besar
ini sudah beres semua, sehingga mulai ada kemalasan untuk membicarakannya. Masih
banyak topik lain yang lebih mendesak.
Kalau
masalah syahadat ini sampai terangkat dalam ceramah, itupun tidak lebih hanya
sekedar mengisi waktu luang, sekedar variasi materi kuliah untuk menghindari
kebosanan. Syahadat bukan merupakan materi inti yang deprogram secara serius
dan intens, yang diiringi dengan Langkah-langkah nyata sebagai kontrol pengawasan
sekaligus evaluasi terhadap setiap perkembangan.
Yang
jelas, perhatian terhadap nasib iman umat Islam belum memadai. Tidak seimbang
dengan kedudukan dan perannya, apalagi kalau diukur dengan fungsi serta
pengaruhnya.
Tenaga
dan energi kita terkuras habis mengurus hal-hal yang sesungguhnya hanyalah merupakan
akibat dari iman yang belum eksis. semua masalah yang melanda umat sesungguhnya
hanya merupakan akibat iman yang tidak aktif, dan efektif.
Kita
terlalu diributkan oleh soal-soal yang justru kadang dibikin oleh musuh sebagai
pekerjaan rumah yang bertujuan melenakan kita dari membahas soal besar dan
mendasar. Kita hanya reaktif, secara kooperatif maupun non kooperatif. Mudah terpancing
menanggapi umpan musuh yang sudah terprogram. Habislah waktu, habislah tenaga
untuk sesuatu yang sia-sia. Akibatnya, masalah paling besar dan paling mendasar
tidak sempat terangkat ke permukaan.
Padahal
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri dengan bimbingan langsung
dari Allah Subhanahu wa ta’ala dengan gamblangnya memperlihatkan kepada
kita bagaiaman secara khusus menempatkan upaya pemantapan iman pada skala
prioritas selama 13 tahun di Makkah. hal itu terlihat dengan jelas lewat ayat-ayat
yang turun selama periode Makkah, sebagai ayat yang secara tajam bermaksud memantapkan
iman lebih dahulu, sebelum turun ayat-ayat yang mengatur tata kehidupan. Hal tersebut
hendaknya menjadi petunjuk dan pelajaran bagi kita dalam membina umat Islam dewasa
ini.
Sebab
bagaimanapun juga, seseorang yang kondisi keimanannya belum dijamin, tidak
mungkin dapat melaksanakan dengan baik tugas-tugas dan kewajibannya sebagi Muslim
dan mukmin. Semua tugas dan kewajiban baginya akan terasa sangat memberatkan,
sementara yang Namanya larangan justru menjadi hobi kegemarannya.
Kalau
sudah seperti itu, lantas apa yang dapat diharapkan untuk kepentingan Islam? Mereka
nantinya hanya akan menjadi beban terus menerus. Orang yang demikian akan
menjadi sumber persoalan yang tidak henti-hentinya menyita pikiran dan meminta
perhatian. Mereka akan menghambat perjalanan dakwah Islam, dan menjadi gangguan
yang sangat merugikan.
Orang-orang
yang imannya seperti itu, mungkin sekilas nampak akan dapat mendukung beberapa
kegiatan Islam. Mereka kadang meyediakan beberapa fasilitas atau kemudahan. Tetapi
kita hendaknya jangan lupa bahwa bantuan yang seperti itu sekali waktu justru
bisa jadi bumerang, menjadi jembatan malapetaka dan bencana.
Berbeda
halnya jika bantuan tersebut semacam bantuan dari Abu Thalib, yang semata-mata
sekedar membantu. Ia tidak ikut dalam pengambilan keputusan, tidak turut dalam
menentukan kebijakan, tidak turut mempengaruhi proses penentuan sikap, tidak
punya hak dilayani. Abu Tahlib tidak tampil mengaku sebagai seorang Muslim yang
mempunyai risiko hukum dalam perlakuan dan pelayanan.
Karena
syahadat tidak difungsikan sebagai alat penyaringan, tidak berperan sebagai
filter yang dapat mencegah lolosnya kaum munafiqun menyusup masuk ke
dalam barisan kaum Muslimin, maka terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Akibat
lebih jauh, kaum Muslimin yang seharusnya mampu memperlihatkan kekuatannya
secara utuh untuk turut memberi warna dalam kehidupan, tidak pernah mampu
mewujudkannya hingga sekarang.
Bermula
dari sini, kemudian terjadilah keanehan-keanehan yang sangat membingungkan. Umat
Islam yang seharusnya menjadi pendukung terciptanya kondisi yang Islami justru
paling getol memusuhi. Mereka tidak merasa punya kewajiban secara moril untuk
menciptakan kondisi yang menguntungkan Islam. Yang demikian terjadi akibat pada
awal ke-Islamannya tidak turut tertanam rasa tanggung jawab untuk menjayakan
Islam.
Dengan
pelaksanaan syahadat yang seenaknya, selama ini kita selalu dikecewakan oleh
kenyataan yang sangat kontras dengan perhitungan. Yang paling pahit kalau
kenyataan di lapangan membuktikan justru umat Islam sendiri yang sesungguhnya
menjadi lawan utama dari cita-cita menciptakan kondisi hidup yang ditata secara
Islam.
Alangkah
hebatnya sesungguhnya kalau benar-benar fungsi syahadat dapat diwujudkan
sebagaimana yang diharapkan. Terbayang akan terbinanya satu kekuatan maha raksasa,
yang dapat digunakan mengatasi semua persoalan yang dihadapi umat Islam selama
ini. Insya Allah.
"Teringat sebuah Ucapan salah satu guru, Karena KAROMAH Tertinggi itu adalah Istiqomah dalam kebaikan, semoga, aamiin"
Dalam Sunyi Sudut Kursi Kantor, ditemani heningnya mentari siang namun menyapa dengan riang lewat teriknya.