Rabu, 03 Agustus 2022

Seri Ketiga - Bila Syahadat Bukan Penyaring.


Karena Syahadat tidak lagi difungsikan sebagai alat penyaring, tidak berperan sebagai filter yang dapat mencegah lolosnya kaum munafiqun menyusup ke dalam barisan kaum Muslimin, maka terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Akibat lebih jauh, kaum Muslimin yang seharusnya mampu memperlihatkan kekuatan secara utuh untuk turut memberi warna dalam kehidupan, tidak pernah mampu mewujudkan hingga sekarang.

Karena sekian lama iman tidak pernah dipersoalkan, maka setan dengan mudahnya menyusup masuk. Mereka merayu dan meninabobokan umat Islam agar tetap merasa bahwa kondisi imannya sudah dalam mutu dan kadar yang memadai.

               Akibatnya, tidak banyak orang yang merasa prihatin dengan kondisi imanya, atau bahkan orang-orang yang mempersoalkannya malah dianggap aneh, tidak lumrah. Akhirnya muncul suatu keyakinan bahwa iman akan tetap lestari, tidak ada kemungkinan mengalami erosi, tidak ada kemungkinan iman akan menyusut lagi.

               Timbullah anggapan tidak ada hubungan antara kemalasan beribadah dengan iman. Tidak ada kaitan antara dosa dengan erosi iman. Iman dianggap sebagai sesuatu yang tetap apa adanya. Adapun soal kejahatan dan kemalasan beribadah adalah persoalan watak dan kondisi alam sekitar atau lingkungan.

               Yang penting, bagi mereka, tetap percaya dan mengaku ada Tuhan yang menguasai alam semesta. Itu sudah cukup. Itulah iman. Ucapan syahadat sekedar ucapan formalitas pengukuhan dan pembuktian adanya kepercayaan itu. Syahadat bisa diucapkan kapan saja dan di mana saja, baik disaksikan orang atau tidak. Itu bukan persoalan. Sedang apa yang terjadi kemudian adalah urusan pribadi masing-masing individu, yang tidak perlu dikaitkan dengan syahadatnya. Tidak ada hubungan antara perilaku sehari-hari dengan kadar iman.

               Begitu rata-rata keyakinan dan pendirian umat Islam yang ditemukan di lapangan. Hal ini sering dengan lantang disuarakan oleh golongan menengah ke atas, sebagai wakil bagi mereka yang belum sanggup membahasakan secara langsung. Kecuali sekedar nampak dalam sikap dan tindakan keseharian.

               Belum tentu mereka yang salah sepenuhnya. Ada kemungkinan akibat kurangnya informasi yang mereka terima. Seolah – olah iman umat Islam yang jumlahnya cukup besar ini sudah beres semua, sehingga mulai ada kemalasan untuk membicarakannya. Masih banyak topik lain yang lebih mendesak.

               Kalau masalah syahadat ini sampai terangkat dalam ceramah, itupun tidak lebih hanya sekedar mengisi waktu luang, sekedar variasi materi kuliah untuk menghindari kebosanan. Syahadat bukan merupakan materi inti yang deprogram secara serius dan intens, yang diiringi dengan Langkah-langkah nyata sebagai kontrol pengawasan sekaligus evaluasi terhadap setiap perkembangan.

               Yang jelas, perhatian terhadap nasib iman umat Islam belum memadai. Tidak seimbang dengan kedudukan dan perannya, apalagi kalau diukur dengan fungsi serta pengaruhnya.

               Tenaga dan energi kita terkuras habis mengurus hal-hal yang sesungguhnya hanyalah merupakan akibat dari iman yang belum eksis. semua masalah yang melanda umat sesungguhnya hanya merupakan akibat iman yang tidak aktif, dan efektif.

               Kita terlalu diributkan oleh soal-soal yang justru kadang dibikin oleh musuh sebagai pekerjaan rumah yang bertujuan melenakan kita dari membahas soal besar dan mendasar. Kita hanya reaktif, secara kooperatif maupun non kooperatif. Mudah terpancing menanggapi umpan musuh yang sudah terprogram. Habislah waktu, habislah tenaga untuk sesuatu yang sia-sia. Akibatnya, masalah paling besar dan paling mendasar tidak sempat terangkat ke permukaan.

               Padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri dengan bimbingan langsung dari Allah Subhanahu wa ta’ala dengan gamblangnya memperlihatkan kepada kita bagaiaman secara khusus menempatkan upaya pemantapan iman pada skala prioritas selama 13 tahun di Makkah. hal itu terlihat dengan jelas lewat ayat-ayat yang turun selama periode Makkah, sebagai ayat yang secara tajam bermaksud memantapkan iman lebih dahulu, sebelum turun ayat-ayat yang mengatur tata kehidupan. Hal tersebut hendaknya menjadi petunjuk dan pelajaran bagi kita dalam membina umat Islam dewasa ini.

               Sebab bagaimanapun juga, seseorang yang kondisi keimanannya belum dijamin, tidak mungkin dapat melaksanakan dengan baik tugas-tugas dan kewajibannya sebagi Muslim dan mukmin. Semua tugas dan kewajiban baginya akan terasa sangat memberatkan, sementara yang Namanya larangan justru menjadi hobi kegemarannya.

               Kalau sudah seperti itu, lantas apa yang dapat diharapkan untuk kepentingan Islam? Mereka nantinya hanya akan menjadi beban terus menerus. Orang yang demikian akan menjadi sumber persoalan yang tidak henti-hentinya menyita pikiran dan meminta perhatian. Mereka akan menghambat perjalanan dakwah Islam, dan menjadi gangguan yang sangat merugikan.

               Orang-orang yang imannya seperti itu, mungkin sekilas nampak akan dapat mendukung beberapa kegiatan Islam. Mereka kadang meyediakan beberapa fasilitas atau kemudahan. Tetapi kita hendaknya jangan lupa bahwa bantuan yang seperti itu sekali waktu justru bisa jadi bumerang, menjadi jembatan malapetaka dan bencana.

               Berbeda halnya jika bantuan tersebut semacam bantuan dari Abu Thalib, yang semata-mata sekedar membantu. Ia tidak ikut dalam pengambilan keputusan, tidak turut dalam menentukan kebijakan, tidak turut mempengaruhi proses penentuan sikap, tidak punya hak dilayani. Abu Tahlib tidak tampil mengaku sebagai seorang Muslim yang mempunyai risiko hukum dalam perlakuan dan pelayanan.

               Karena syahadat tidak difungsikan sebagai alat penyaringan, tidak berperan sebagai filter yang dapat mencegah lolosnya kaum munafiqun menyusup masuk ke dalam barisan kaum Muslimin, maka terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Akibat lebih jauh, kaum Muslimin yang seharusnya mampu memperlihatkan kekuatannya secara utuh untuk turut memberi warna dalam kehidupan, tidak pernah mampu mewujudkannya hingga sekarang.

               Bermula dari sini, kemudian terjadilah keanehan-keanehan yang sangat membingungkan. Umat Islam yang seharusnya menjadi pendukung terciptanya kondisi yang Islami justru paling getol memusuhi. Mereka tidak merasa punya kewajiban secara moril untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan Islam. Yang demikian terjadi akibat pada awal ke-Islamannya tidak turut tertanam rasa tanggung jawab untuk menjayakan Islam.

               Dengan pelaksanaan syahadat yang seenaknya, selama ini kita selalu dikecewakan oleh kenyataan yang sangat kontras dengan perhitungan. Yang paling pahit kalau kenyataan di lapangan membuktikan justru umat Islam sendiri yang sesungguhnya menjadi lawan utama dari cita-cita menciptakan kondisi hidup yang ditata secara Islam.

               Alangkah hebatnya sesungguhnya kalau benar-benar fungsi syahadat dapat diwujudkan sebagaimana yang diharapkan. Terbayang akan terbinanya satu kekuatan maha raksasa, yang dapat digunakan mengatasi semua persoalan yang dihadapi umat Islam selama ini. Insya Allah.


"Teringat sebuah Ucapan salah satu guru, Karena KAROMAH Tertinggi itu adalah Istiqomah dalam kebaikan, semoga, aamiin"

Dalam Sunyi Sudut Kursi Kantor, ditemani heningnya mentari siang namun menyapa dengan riang lewat teriknya.

Seri Kesepuluh - Pernyataan Menuntut Kenyataan -

Dalam beberapa ayat yang disebut aamanuu, teriring pula kata wa ‘amilush-shaalihat. Kenapa? Karena Islam bukan agama kebatinan yang cukup di...