Selasa, 05 Juli 2022

Seri Kedua - Syahadat Urusan Pribadi?

 "Syahadat yang benar adalah syahadat yang melahirkan satu bangunan kokoh yang saling menguatkan, topang menopang. Syahadat yang betul adalah syahadat yang menghadirkan satu struktur organisasi yang patuh menerina distribusi tugas dalam satu program yang jelas, yang tidak hanya menghabiskan watunya guna mempertahankan hidup. tapi mampu untuk selalu berkembang."

Bukan maksud menyalahkan umat, bukan pula bertujuan mengecilkan arti mereka, sehingga tulisan ini diangkat. Tetapi hanya sekedar mencoba menggambarkan keaadaan syahadat yang ideal, sebagaimana syahadat para sahabat nabi.

            Dengan cara ini, kita bisa melihat lebih jelas betapa jauh jarak antara keduanya, kemudian kita bisa memperhitungkan panjangnya rute perjalanan yang harus ditempuh dalam upaya mempertemukan realitas yang ada dengan idealitas yang dituju.

            Hal ini sangat penting agar kita tidak terlalu cepat puas dengan kondisi sekarang ini, disamping menghindari keputus asaan bila ternyata nanti usaha ini memerlukan waktu yang cukup lama, serta menuntut pengorbanan yang tidak kecil. Perlu kita sadari, ibarat orang sakit, sesungguhnya kondisi kita cukup parah. Memerlukan proses penyembuhan yang berjangka lama, intensif dan berkontinuitas.

            Betapapun parahnya kondisi kita sekarang, kemungkinan dan peluang perbaikan tetap terbuka. Kesempatan untuk menjadi sehat masih tersedia. Obat yang paling mujarab masih di tangan kita. Asal ada sedikit kejujuran dan jiwa besar untuk mengakui kerendahan mutu iman yang kita miliki, insya Allah usaha perbaikan bisa kita lakukan. Dijamin, asal ada kesungguhan, pemulihan kekuatan umat pelan-pelan akan dapat dirasakan.

            Akan tetapi, ibarat orang sakit yang sudah akut, umat Islam tidak lagi merasakan sakitnya. Betapapun parah kondisi imannya, ia tetap yakin kalau iman dan syahadatnya sudah mendapat jaminan mutu, bahkan kadang merasa bahwa kualitas syahadatnya itu sudah mencapai kualitas standar, menganggap  sudah di atas ukuran biasa dan umum. Inilah persoalan, sekaligus hambatan.

            Sebagian kaum muslimin, karena merasa ukuran imannya sudah di atas standar normal, seolah-olah mendapat dispensasi untuk menganggap sepele beberapa kewajiban, serta larangan, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Tidak merasa risih melakukan pelanggaran. Terkesan seperti mendapat izin istimewa, terkadang sampai pada tingkat bangga dan pamer.

            Inilah kenyataan, umat Islam sudah merasa cukup dengan kondisi imannya yang serba memprihatinkan. Mereka merasa sudah cukup dan menganggap sudah lebih baik daripada tidak beriman sama sekali. Maka, terjadilah beberapa keanehan yang sangat menyedihkan. Sementara hanya beberapa kewajiban yang baru dapat dilaksanakan, mereka sudah berani melanggar aturan Islam, kadang secara terang-terangan, atau malah justru pelanggaran itu dijadikan hobi dan kegemaran.

            Dengan melakukan tindak pelanggaran yang sedemikian hebat, ternyata mereka masih bangga dan dengan penuh keyakinan menyatakan mutu imannya terjamin. Yang lebih menyakitkan, lewat Tindakan dan usahanya, mereka secara tajam merugikan dan menentang Islam, tetapi masih saja yakin kalau dirinya orang beriman yang baik, bisa diadu dan diuji.

            Inilah penyakit, inilah kenyataan. Dapat kita bayangkan apa dan bagaimana jadinya kalau model orang seperti ini menempati jumlah terbesar, paling dominan. Kita telah keliru dalam menarik kesimpulan jumlah, memperhitungkan kekuatan. Bisa ditebak, apa akibatnya!

            ada semacam kesepakatan tak tertulis dan tidak diumumkan, yang menjadi pegangan umat selama ini, kalau mutu dan kadar iman tidak perlu dipersoalkan. Sebab, kata mereka, iman adalah urusan pribadi yang tidak perlu dicampuri oleh orang lain, siapapun juga, sebab ia adalah hak asasi. Akibatnya, orang Islam tidak merasa punya ikatan apa-apa satu sama lain. Masing-masing individu punya kebebasan untuk taat atau tidak. Adalah hak mereka untuk memelihara atau mengabaikan imannya.

            Yang menambah parahnya keadaan adalah tidak adanya orang yang merasa punya wewenang untuk melakukan kontrol pengawasan. Masing-masing orang berhak menganggap dirinya paling beriman. Terjadilah sikap saling mengkafirkan antar pribadi, antar kelompok. Terjadilah permusuhan demi permusuhan yang mengundang jatuhnya korban yang tidak sedikit dan berlangsung tidak sebentar.

            Syahadat demikian tidak melahirkan satu imamah dan jamaah, yang pada akhirnya konsep umat hanya berupa teori yang tidak pernah hadir dalam realita. Apa jadinya bila umat yang jumlahnya sekian banyak tidak dikoordinir, tidak dibimbing dan diarahkan pada satu tujuan. Apa jadinya bila potensi umat yang sekian banyak tidak diatur dan didistribusikan. Umat yang sebenarnya sangat potensial menjadi impotensial. Umat yang sebenarnya merupakan kekuatan justru titik kelemahan, dikarenakan saling bermusuhan, saling menghancurkan.

            Kondisi umat yang sudah menjadi keping-keping kecil, hancur berserakan seperti ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita agar segera menyadari bahwa hal ini sangat berkait dengan syahadat keimanan.

            Syahadat yang benar adalah syahadat yang melahirkan satu bangunan kokoh saling menguatkan, topang menopang. Syahadat yang betul adalah syahadat yang menghadirkan satu struktur organisasi yang patuh menerima distribusi tugas dalam satu program yang jelas, yang tidak hanya menghabiskan waktunya guna mempertahankan hidup, tapi mampu untuk selalu berkembang.

            Akan tetapi, karena syahadat sudah dianggap masalah pribadi, yang tidak boleh dicampuri orang lain, akhirnya tidak ada orang yang saling mengingatkan. Tidak ada saling tegur. Tidak ada yang mengontrol. Pada akhirnya, kondisi seperti ini membuka peluang bagi oknum-oknum tertentu untuk mengaku dirinya sebagai orang yang beriman, meskipun nyata-nyata telah ingkar. Semua orang berhak dan minta diperlakukan sebagaimana orang beriman, walaupun sesungguhnya imannya hanya dalam pengakuan.

            Disinilah kita sering dikecewakan oleh kenyataan yang sangat kontras dengan teori yang dijelaskan dalam al-qur’an. Standar dan beberapa indikasi orang beriman yang dijelaskan al-qur’an tidak Nampak sama sekali dalam realitas kehidupan. Apa yang seharusnya menjadi perilaku orang beriman justru ditinggalkan. Ada semacam keberatan untuk memperlihatkan diri dan identitas orang beriman, tetapi ngotot mengaku beriman, merasa berkeberatan untuk dinyatakan sebagai golongan Kuffar.

            Dapat kita bayangkan apa dan bagaimana kalau model orang-orang seperti ini justru menempati jumlah terbesar, paling dominan. Paling tidak, selama ini kita keliru dalam menarik kesimpulan jumlah, keliru dalam memperhitungkan kekuatan. Bisa ditebak, apa akibatnya bila perhitungan kuantitas dan kualitas berbeda jauh dengan kenyataan.

            Selama ini kita terjebak menghitung setiap pengakuan sebagai jaminan mutu dan jumlah kekuatan. Mereka yang nyata-nyata tidak setuju degan apa yang dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam kehidupan kesehariannya tetap masuk dalam perhitungan. Bahkan mereka sudah pada tingkat memusuhi perilaku yang diwariskan kepada umat Islam masih kita anggap dan perlakukan sebagai orang Islam, yang barang tentu masih juga kita perhitungkan sebagai kekuatan. Padahal, semestinya kita tahu, bahwa kekuatan dan kehebatan Islam terletak pada kepatuhan dan ketaatan mengikuti sepenuhnya apa yang dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

            Janganlah kita lupa kalau kekuatan dasar umat Islam sesungguhnya terletak pada bantuan dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Kalau bantuan itu tidak ada, semua yang dimiliki oleh umat tidak akan berarti apa-apa, bahkan bisa jadi bumerang. Justru yang dimiliki umat Islam pada gilirannya menjadi sebab utama kehancuran dan kelemahan. Setan dengan mudah melakukan tipu dayanya bilamana Allah subhanahu wa ta’ala tidak melindungi langsung umat Islam.

            Jadi, bukan jumlah yang dipentingkan, malahan hal ini tidak pantas dibanggakan. Yang diperlukan sekarang adalah kualitas, bukan kuantitas. Untuk itu mulai dari syahadat sudah diperlukan jaminan mutunya. Kualitas syahadat yang paling rendah adalah kesediaan diri untuk sepenuhnya mematuhi apa yang dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, tanpa menawar sedikitpun juga apa yang sudah ditetapkan sebagai syariat Islam.

 

Pagi hari Ketika perjuangan semakin terasa tantangannya.

Tanjung Selor dalam cerahnya mentari, di Kantor SD AL MUBARAK dalam kesunyian bunyi dan keramaian ide dan kerja.



Seri Kesepuluh - Pernyataan Menuntut Kenyataan -

Dalam beberapa ayat yang disebut aamanuu, teriring pula kata wa ‘amilush-shaalihat. Kenapa? Karena Islam bukan agama kebatinan yang cukup di...