"Syahadat yang benar adalah syahadat yang melahirkan satu bangunan kokoh yang saling menguatkan, topang menopang. Syahadat yang betul adalah syahadat yang menghadirkan satu struktur organisasi yang patuh menerina distribusi tugas dalam satu program yang jelas, yang tidak hanya menghabiskan watunya guna mempertahankan hidup. tapi mampu untuk selalu berkembang."
Bukan
maksud menyalahkan umat, bukan pula bertujuan mengecilkan arti mereka, sehingga
tulisan ini diangkat. Tetapi hanya sekedar mencoba menggambarkan keaadaan
syahadat yang ideal, sebagaimana syahadat para sahabat nabi.
Dengan cara ini, kita bisa melihat
lebih jelas betapa jauh jarak antara keduanya, kemudian kita bisa
memperhitungkan panjangnya rute perjalanan yang harus ditempuh dalam upaya
mempertemukan realitas yang ada dengan idealitas yang dituju.
Hal ini sangat penting agar kita
tidak terlalu cepat puas dengan kondisi sekarang ini, disamping menghindari
keputus asaan
bila ternyata nanti usaha ini memerlukan waktu yang cukup lama, serta menuntut
pengorbanan yang tidak kecil. Perlu kita sadari, ibarat orang sakit,
sesungguhnya kondisi kita cukup parah. Memerlukan proses penyembuhan yang
berjangka lama, intensif dan berkontinuitas.
Betapapun parahnya kondisi kita
sekarang, kemungkinan dan peluang perbaikan tetap terbuka. Kesempatan untuk
menjadi sehat masih tersedia. Obat yang paling mujarab masih di tangan kita.
Asal ada sedikit kejujuran dan jiwa besar untuk mengakui kerendahan mutu iman
yang kita miliki, insya Allah usaha perbaikan bisa kita lakukan. Dijamin,
asal ada kesungguhan, pemulihan kekuatan umat pelan-pelan akan dapat dirasakan.
Akan tetapi, ibarat orang sakit yang
sudah akut, umat Islam tidak lagi merasakan sakitnya. Betapapun parah kondisi
imannya, ia tetap yakin kalau iman dan syahadatnya sudah mendapat jaminan mutu,
bahkan kadang merasa bahwa kualitas syahadatnya itu sudah mencapai kualitas
standar, menganggap sudah di atas ukuran
biasa dan umum. Inilah persoalan, sekaligus hambatan.
Sebagian kaum muslimin, karena
merasa ukuran imannya sudah di atas standar normal, seolah-olah mendapat
dispensasi untuk menganggap sepele beberapa kewajiban, serta larangan, dan
ketentuan-ketentuan lainnya. Tidak merasa risih melakukan pelanggaran.
Terkesan seperti mendapat izin istimewa, terkadang sampai pada tingkat bangga
dan pamer.
Inilah kenyataan, umat Islam sudah
merasa cukup dengan kondisi imannya yang serba memprihatinkan. Mereka merasa
sudah cukup dan menganggap sudah lebih baik daripada tidak beriman sama sekali.
Maka, terjadilah beberapa keanehan yang sangat menyedihkan. Sementara hanya
beberapa kewajiban yang baru dapat dilaksanakan, mereka sudah berani melanggar
aturan Islam, kadang secara terang-terangan, atau malah justru pelanggaran itu
dijadikan hobi dan kegemaran.
Dengan melakukan tindak pelanggaran
yang sedemikian hebat, ternyata mereka masih bangga dan dengan penuh keyakinan
menyatakan mutu imannya terjamin. Yang lebih menyakitkan, lewat Tindakan dan
usahanya, mereka secara tajam merugikan dan menentang Islam, tetapi masih saja
yakin kalau dirinya orang beriman yang baik, bisa diadu dan diuji.
Inilah penyakit, inilah kenyataan.
Dapat kita bayangkan apa dan bagaimana jadinya kalau model orang seperti ini
menempati jumlah terbesar, paling dominan. Kita telah keliru dalam menarik
kesimpulan jumlah, memperhitungkan kekuatan. Bisa ditebak, apa akibatnya!
ada semacam kesepakatan tak tertulis
dan tidak diumumkan, yang menjadi pegangan umat selama ini, kalau mutu dan
kadar iman tidak perlu dipersoalkan. Sebab, kata mereka, iman adalah urusan
pribadi yang tidak perlu dicampuri oleh orang lain, siapapun juga, sebab ia
adalah hak asasi. Akibatnya, orang Islam tidak merasa punya ikatan
apa-apa satu sama lain. Masing-masing individu punya kebebasan untuk taat
atau tidak. Adalah hak mereka untuk memelihara atau mengabaikan imannya.
Yang menambah parahnya keadaan
adalah tidak adanya orang yang merasa punya wewenang untuk melakukan kontrol pengawasan.
Masing-masing orang berhak menganggap dirinya paling beriman. Terjadilah sikap
saling mengkafirkan antar pribadi, antar kelompok. Terjadilah permusuhan demi
permusuhan yang mengundang jatuhnya korban yang tidak sedikit dan berlangsung
tidak sebentar.
Syahadat demikian tidak melahirkan
satu imamah dan jamaah, yang pada akhirnya konsep umat hanya berupa teori yang
tidak pernah hadir dalam realita. Apa jadinya bila umat yang jumlahnya sekian
banyak tidak dikoordinir, tidak dibimbing dan diarahkan pada satu tujuan. Apa jadinya
bila potensi umat yang sekian banyak tidak diatur dan didistribusikan. Umat yang
sebenarnya sangat potensial menjadi impotensial. Umat yang sebenarnya merupakan
kekuatan justru titik kelemahan, dikarenakan saling bermusuhan, saling
menghancurkan.
Kondisi umat yang sudah menjadi keping-keping
kecil, hancur berserakan seperti ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita agar
segera menyadari bahwa hal ini sangat berkait dengan syahadat keimanan.
Syahadat yang benar adalah syahadat
yang melahirkan satu bangunan kokoh saling menguatkan, topang menopang. Syahadat
yang betul adalah syahadat yang menghadirkan satu struktur organisasi yang patuh
menerima distribusi tugas dalam satu program yang jelas, yang tidak hanya
menghabiskan waktunya guna mempertahankan hidup, tapi mampu untuk selalu
berkembang.
Akan tetapi, karena syahadat sudah
dianggap masalah pribadi, yang tidak boleh dicampuri orang lain, akhirnya tidak
ada orang yang saling mengingatkan. Tidak ada saling tegur. Tidak ada yang
mengontrol. Pada akhirnya, kondisi seperti ini membuka peluang bagi oknum-oknum
tertentu untuk mengaku dirinya sebagai orang yang beriman, meskipun nyata-nyata
telah ingkar. Semua orang berhak dan minta diperlakukan sebagaimana orang
beriman, walaupun sesungguhnya imannya hanya dalam pengakuan.
Disinilah kita sering dikecewakan oleh
kenyataan yang sangat kontras dengan teori yang dijelaskan dalam al-qur’an. Standar
dan beberapa indikasi orang beriman yang dijelaskan al-qur’an tidak Nampak sama
sekali dalam realitas kehidupan. Apa yang seharusnya menjadi perilaku orang
beriman justru ditinggalkan. Ada semacam keberatan untuk memperlihatkan diri
dan identitas orang beriman, tetapi ngotot mengaku beriman, merasa berkeberatan
untuk dinyatakan sebagai golongan Kuffar.
Dapat kita bayangkan apa dan bagaimana
kalau model orang-orang seperti ini justru menempati jumlah terbesar, paling
dominan. Paling tidak, selama ini kita keliru dalam menarik kesimpulan jumlah,
keliru dalam memperhitungkan kekuatan. Bisa ditebak, apa akibatnya bila
perhitungan kuantitas dan kualitas berbeda jauh dengan kenyataan.
Selama ini kita terjebak menghitung
setiap pengakuan sebagai jaminan mutu dan jumlah kekuatan. Mereka yang
nyata-nyata tidak setuju degan apa yang dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam dalam kehidupan kesehariannya tetap masuk dalam perhitungan. Bahkan
mereka sudah pada tingkat memusuhi perilaku yang diwariskan kepada umat Islam
masih kita anggap dan perlakukan sebagai orang Islam, yang barang tentu masih
juga kita perhitungkan sebagai kekuatan. Padahal, semestinya kita tahu, bahwa
kekuatan dan kehebatan Islam terletak pada kepatuhan dan ketaatan mengikuti
sepenuhnya apa yang dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
Janganlah kita lupa kalau kekuatan
dasar umat Islam sesungguhnya terletak pada bantuan dan ridha Allah subhanahu
wa ta’ala. Kalau bantuan itu tidak ada, semua yang dimiliki oleh umat tidak
akan berarti apa-apa, bahkan bisa jadi bumerang. Justru yang
dimiliki umat Islam pada gilirannya menjadi sebab utama kehancuran dan
kelemahan. Setan dengan mudah melakukan tipu dayanya bilamana Allah subhanahu
wa ta’ala tidak melindungi langsung umat Islam.
Jadi, bukan jumlah yang
dipentingkan, malahan hal ini tidak pantas dibanggakan. Yang diperlukan sekarang
adalah kualitas, bukan kuantitas. Untuk itu mulai dari syahadat sudah
diperlukan jaminan mutunya. Kualitas syahadat yang paling rendah adalah
kesediaan diri untuk sepenuhnya mematuhi apa yang dicontohkan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam, tanpa menawar sedikitpun juga apa yang sudah ditetapkan
sebagai syariat Islam.
Pagi
hari Ketika perjuangan semakin terasa tantangannya.
Tanjung Selor dalam
cerahnya mentari, di Kantor SD AL MUBARAK dalam kesunyian bunyi dan keramaian
ide dan kerja.