Mengapa lantunan syahadat yang diucapkan umat tidak mempunyai dampak yang
hebat? adakah sekarang umat tidak lagi sekualitas dulu?
Di masjid-masjid besar seperti Istiqlal di Jakarta, salman di Bandung,
Al falah di Surabaya, dan masjid - masjid lainnya setiap Jum'at hampir selalu
ada upacara pengislaman. Mereka yang baru masuk Islam tentunya diharuskan
melantunkan dua kalimat syahadat. Para hadirin menyaksikan dengan khusyu',
sementara pemandunya menuntun lafadz demi lafadz dengan tekun
agar tidak menyalahi kaidah tajwid dalam pengucapannya.
Ratusan, bahkan sudah mencapai ribuan orang yang telah diislamkan.
Mereka mengawali keislamannya dengan upacara sakral yang disaksikan oleh
puluhan jama'ah. Rata-rata mereka fasih mengucapkan syahadat karena telah
mendapatkan latihan berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan sebelumnya.
Ada satu hal yang perlu kita persoalkan, mengapa selama ini belum
terdengar riak dan gelombang sebagai akibat dari syahadat mereka. jangankan
gelombang, perubahan dalam diri mereka saja rasa-rasanya hampir tidak ada. yang
biasanya bercelana pendek, tetap bercelana pendek. bila ia perempuan, ia tetap
berbusana kafir, tidak ada perubahan. Bila ia pelajar, ia tetap bercampur laki
perempuan.
Terlalu wajar bila muncul satu pertanyaan. "Mana pengaruh syahadat
yang katanya hebat itu?" terlalu wajar bila ada orang curiga kalau-kalau
mereka yang masuk Islam itu hanya sekedar main-main, hanya sekedar ngibulin mertua
agar anak gadisnya bisa di nikahi, atau kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Kemudian
dimana letaj nilai syahadat itu?
Bukan
terletak pada aksentuasinya. Bukan pada kefasihan membacanya. Bukan pada
keterampilan mengucapkannya. letak nilai strategis syahadat itu ada pada isi
dan materi kandungannya. Bila isi dan kandungan syahadat itu dapat dihayati
dengan sungguh-sungguh, pasti berdampak meningkatkan kadar dan mutu
keberadaannya.
Syahadat adalah pernyataan sikap, keyakinan dan pendirian mengenai
sesuatu yang sangat prinsip. Ia adalah pengakuan sekaligus penetapan yang
sungguh-sungguh disertai kesiapan mental untuk menanggung segala
konsekuensinya, bahwa Allah Tuhan satu-satunya.
Pernyataan ini tidak hanya berakhir sampai disitu. Keyakinan kepada
Tuhan bukanlah pernyataan sederhana. Mengakui saja siapa presiden kita, dan
menempatkan diri sebagai rakyatnya, sudah membawa konsekuensi yang tidak
sedikit, minimal siap membayar pajak kepadanya. Padahal status dan posisi itu
sangat terbatas, baik waktu maupun wewenangnya. Kalau pengakuan kepada presiden
saja sudah membawa akibat yang tidak sedikit, apalagi pernyataan dan pengakuan
kepada Tuhan yang sama sekali tidak dibatasi oleh ruang, waktu dan wewenang.
Karenanya, tidak mungkin kalimat itu dapat memberi bobot manakala
diucapkan tidak dengan pemahaman, tanpa kesadaran akan segala macam risiko
serta akibat yang merupakan tuntutan dan konsekuensi logisnya.
Jangan heran, jika selama ini, syahadat yang kita temukan di lapangan
tidak berhasil memberi bobot yang memadai sebagai wujud peningkatan mutu dan
kadar kualitas eksistensi seseorang.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Tidak lain penyebab utamanya adalah
kesalahan pemahaman kita dalam memaknai arti dan maksud syahadat yang sering
kita ucapkan. Di antara kita ada yang beranggapan bahwa syahadat hanya sekedar
ucapan formalitas. Dipahami atau tidak , bukan menjadi soal. yang penting, asal
pengucapannya sudah tepat, baik huruf maupun makhrajnya, dianggap sudah sah
sebagai Muslim. Terserah nanti menjalakan shalat atau tidak. Tetap maksiat
atau menjadi penjahat. Disinilah letak kehampaan dan kehambaran syahadat selama
ini.
Apakah artinya syahadat yang tidak punya
isi? Apalah artinya syahadat yang tidak berpotensi? apalah artinya syahadat
yang sekedar formalitas, yang mandul tanpa follow up? Apalah artinya
syahadat yang tidak melahirkan komitmen pengorbanan dan kesungguhan serta
kesiapsiagaan menerima segala resiko sebagai taruhan logisnya? Malahan momen
ini merupakan peluang empuk bagi siapa saja untuk melakukan penipuan yang pada
gilirannya akan berwujud kemunafikan.
Bila sudah demikian, wajar manakala bukan
kekuatan sebagai hasilnya, malah kelemahan yang datang. Bukan hanya terbatas
pada kelemahan yang masih bisa diatasi, tetapi justru kondisi syahadat yang
demikian itulah sebenarnya yang menjadi musuh utama keberadaan umat Islam.
Kenapa demikian? Sebagaimana kita ketahui,
kekuatan islam terletak pada kepatuhan ummatnya dalam menjalankan syariat
agamanya. Mengucapkan syahadat dengan benar sudah merupakan satu kekuatan, dan
kekuatan itu akan terus bertambah seiring dengan pelaksanaan syariat
berikutnya. Akan tetapi jika sejak dari syahadat sudah tidak beres, tidak
tertancap dengan baik, maka hasilnya adalah kehancuran. Syahadat adalah
pondasi. Tidak ada tiang yang bisa tegak dengan utuh, tidak ada perabot yang
bisa berfungsi dengan baik, apalagi kalau diharapkan menjadi daya dukung dan
kekuatan sebagaimana mestinya, tanpa tegak dan tegarnya fondasi.
Bila mulai dari syahadatnya sudah
meragukan, pasti akan mengundang keragu-raguan selanjutnya, cenderung menawar
semua perintah dan larangan, mudah membantah, minimal bila mentaatinya pasti
penuh dengan keterpaksaan, santai, tidak Nampak sama sekali keseriusan. Syahadat
yang demikian pasti menjadikan seseorang berani menampik apa yang menjadi
kewajiban sekaligus melanggar larangan. Persoalannya, kadar syahadatnya memang
tidak disiapkan untuk mematuhi perintah sebagai konsekuensi lanjutan.
Barangkali ada yang beranggapan, bersyahadat
hanya sekedar ucapan formalitas keabsahan keislaman seseorang. Hanya sebagai proses
awal yang harus dilalui. Bersyahadat ibarat mengisi formulir pendaftaran
menjadi anggota sebuah organisasi yang dikenal selama ini. Adapaun perintah dan
larangan yang menjadi syariat keseharian, itu persoalan pribadi. Tergantung diri
sendiri, tidak perlu dicampuri oleh siapapun juga, sesuai dengan selera dan
kesukaannya sendiri. Sebab, katanya, masing-masing kita akan bertanggung jawab
sendiri-sendiri dihadapan Allah nanti. Terserah kepada masing-masing pribadi,
sebab ini adalah ajaran suka rela. Begitulah irama dan bentuk berfikir mereka,
yang sejak syadahatnya sebagai pangkal sudah hampa dan hambar, tidak dipahami
secara persis tentang apa yang diucapkannya.
Mutlak harus ditanamkan dan dicamkan
baik-baik bahwa syahadat melahirkan ketentuan-ketentuan yang mengikat. Setelah bersyahadat
pasti akan disusul dengan kewajiban-kewajiban yang tidak bisa dielakkan. Syahadat
adalah permulaan dari rangkaian tugas yang berlanjut untuk sampai kepada
sasaran-sasaran tertentu. Syahadat bukan kewajiban yang lepas dan terpisah berdiri
sendiri, tetapi memounyai kaitan dengan sekian banyak kewajiban lain yang
saling berkait dari awal hingga ujung. Syahadat bukan sesuatu yang dimulai dari
ucapan seperti itu dan berakhir sampai situ. Ia merupakan awal dari sekian
jalinan dan rangkaian aneka ragam tugas dan kewajiban yang sudah terprogram secara
rapi. Syahadat yang demikian dijamin dapat menyelesaikan sesuatu yang mempunyai
nilai serta arti yang sangat besar bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun
di akhirat nanti.
Disini, mulai terbayang jawaban pertanyaan
yang menggoda sekian lama, kenapa wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bukan kalimat eksplisit yang tajam memerintahkan orang
untuk memulas proses keislamannya dengan mengucapkan kalmat syahadat. Makin mengertilah
kita, kenapa wahyi pertama adalah anjuran dan bimbingan serta pola acuan,
metode dan system berfikir yang begitu sederhana kerangka dan sistematikanya. Disana
Nampak bahwa bukan langsung pengucapannya yang paling menentukan, tetapi yang lebih
penting justru proses yang melahirkan pengucapan tersebut.
Melalui kerangka berfikir yang ditawarkan
oleh wahyu pertama ini, diaharapkan akan lahir kesadaran bersyahadat yang
diucapkan dengan mantap, penuh keyakinanm yang dijamin tidak akan pernahgoyah
ditengah perjalanan walau menghadapi risiko dan tantangan.
Sikap bersyahadat seperti itulah yang
sesungguhnya merupakan kekuatan dasar yang akan menjadi kekuatan konkrit bila
ada yang mampu memanfaatkannya dalam bentuk program praktis.
Disinilah tragisnya. Disamping syahadat
yang ada tidak melahirkan peningkatan murti keberadaan umat, mereka yang
diserahi amanat sebagai pemimmpin umat tidak berhasil mengatur potensi yang ada
dalam program kerja yang menampung semua kekuatan yang tersedia. Akibatnya,
umat Islam hanya kellihatan banyak dalam kuantitasm tetapi berhamburan menjadi
sesuatu yang kehilangan daya kekuatan nyata. sunggh tragis, kekuatan umat Islam
justru lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak lawan untuk menentang Islam sendiri.
Pengorbanan dan potensi yang ada pada diri umat Islam tidak memberi dukungan
sedikitpun juga pada upaya terwujudnya kehidupan yang Islami.
Sekali lagi, semuanya bermula dari syahadat
yagn tidak berhasil diwujudkan sebagaimana mestinya. Syahadat yang mandul,
tidak melahirkan apa-apa. Semua orang tentu bisa dengan mudah menghafal dan
melafalkannya. Ada kesempatan yang empuk bagi yang mau menyalahgunakannya. Adalah
kesempatan yang di tunggu-tunggu oleh munafiqun modern. Dapat dibayangkan
bagaimana jadinya kalau umat Islam yang mayoritas justru yang seperti itu
keadaannya.
Betapa dan bagaimanapun banyaknya jumlah
umat Islam, berapa pintarnya mereka secara individu, bahkan betapapun kaya
rayanya para personil manusianya, semuanya itu belum merupakan kekuatan yang
dapat dijaminmemberi daya dukung yang menolong pencapaian cita-cita, sebelum
syahadat mereka semua eksis sebagaiman mestinya.
Dengan demikian, kiranya dapat disepakati untuk
menjadikan kajian syahadat sebagai upaya paling mendesak disamping program yang
mendesak lainnya. Sebab, bila syahadat umat sudah beres, tidak ada yang sulit. Semua
masalah yang selama ini dianggap problem, sebagai tantangan akan terasa sangat
mudah diselesaikan. Syahadat adalah kuncinya. Disinilah sumber penyakit umat sekian
lama, sehingga dari sini juga perbaikan harus dimulai.
Segala macam upaya harus dilakukan sekuasa
kita. Segala macam media harus dimanfaatkan untuk pekerjaan itu. Harga dan
martabat umat akan terangkat dengan sendirinya bila syahadat mereka eksis dan
beres semua.
Insya Allah, nantinya, mereka bukan saja
disegani, bukan saja diperhitungkan, bukan saja diikutsertakan dalam semua
kegiatan strategis, tetapi justru akan tampil sebagai penentu.