Rabu, 08 Juni 2022

Seri Pertama - Potret Syahadat Ummat-



    Mengapa lantunan syahadat yang diucapkan umat tidak mempunyai dampak yang hebat? adakah sekarang umat tidak lagi sekualitas dulu?

    Di masjid-masjid besar seperti Istiqlal di Jakarta, salman di Bandung, Al falah di Surabaya, dan masjid - masjid lainnya setiap Jum'at hampir selalu ada upacara pengislaman. Mereka yang baru masuk Islam tentunya diharuskan melantunkan dua kalimat syahadat. Para hadirin menyaksikan dengan khusyu', sementara pemandunya menuntun lafadz demi lafadz dengan tekun agar tidak menyalahi kaidah tajwid dalam pengucapannya.

    Ratusan, bahkan sudah mencapai ribuan orang yang telah diislamkan. Mereka mengawali keislamannya dengan upacara sakral yang disaksikan oleh puluhan jama'ah. Rata-rata mereka fasih mengucapkan syahadat karena telah mendapatkan latihan berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan sebelumnya.

    Ada satu hal yang perlu kita persoalkan, mengapa selama ini belum terdengar riak dan gelombang sebagai akibat dari syahadat mereka. jangankan gelombang, perubahan dalam diri mereka saja rasa-rasanya hampir tidak ada. yang biasanya bercelana pendek, tetap bercelana pendek. bila ia perempuan, ia tetap berbusana kafir, tidak ada perubahan. Bila ia pelajar, ia tetap bercampur laki perempuan.

    Terlalu wajar bila muncul satu pertanyaan. "Mana pengaruh syahadat yang katanya hebat itu?" terlalu wajar bila ada orang curiga kalau-kalau mereka yang masuk Islam itu hanya sekedar main-main, hanya sekedar ngibulin mertua agar anak gadisnya bisa di nikahi, atau kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Kemudian dimana letaj nilai syahadat itu?

    Bukan terletak pada aksentuasinya. Bukan pada kefasihan membacanya. Bukan pada keterampilan mengucapkannya. letak nilai strategis syahadat itu ada pada isi dan materi kandungannya. Bila isi dan kandungan syahadat itu dapat dihayati dengan sungguh-sungguh, pasti berdampak meningkatkan kadar dan mutu keberadaannya.

    Syahadat adalah pernyataan sikap, keyakinan dan pendirian mengenai sesuatu yang sangat prinsip. Ia adalah pengakuan sekaligus penetapan yang sungguh-sungguh disertai kesiapan mental untuk menanggung segala konsekuensinya, bahwa Allah Tuhan satu-satunya.

    Pernyataan ini tidak hanya berakhir sampai disitu. Keyakinan kepada Tuhan bukanlah pernyataan sederhana. Mengakui saja siapa presiden kita, dan menempatkan diri sebagai rakyatnya, sudah membawa konsekuensi yang tidak sedikit, minimal siap membayar pajak kepadanya. Padahal status dan posisi itu sangat terbatas, baik waktu maupun wewenangnya. Kalau pengakuan kepada presiden saja sudah membawa akibat yang tidak sedikit, apalagi pernyataan dan pengakuan kepada Tuhan yang sama sekali tidak dibatasi oleh ruang, waktu dan wewenang.

    Karenanya, tidak mungkin kalimat itu dapat memberi bobot manakala diucapkan tidak dengan pemahaman, tanpa kesadaran akan segala macam risiko serta akibat yang merupakan tuntutan dan konsekuensi logisnya.

    Jangan heran, jika selama ini, syahadat yang kita temukan di lapangan tidak berhasil memberi bobot yang memadai sebagai wujud peningkatan mutu dan kadar kualitas eksistensi seseorang.

    Kenapa hal ini bisa terjadi? Tidak lain penyebab utamanya adalah kesalahan pemahaman kita dalam memaknai arti dan maksud syahadat yang sering kita ucapkan. Di antara kita ada yang beranggapan bahwa syahadat hanya sekedar ucapan formalitas. Dipahami atau tidak , bukan menjadi soal. yang penting, asal pengucapannya sudah tepat, baik huruf maupun makhrajnya, dianggap sudah sah sebagai Muslim. Terserah nanti menjalakan shalat atau tidak. Tetap maksiat atau menjadi penjahat. Disinilah letak kehampaan dan kehambaran syahadat selama ini.

    Apakah artinya syahadat yang tidak punya isi? Apalah artinya syahadat yang tidak berpotensi? apalah artinya syahadat yang sekedar formalitas, yang mandul tanpa follow up? Apalah artinya syahadat yang tidak melahirkan komitmen pengorbanan dan kesungguhan serta kesiapsiagaan menerima segala resiko sebagai taruhan logisnya? Malahan momen ini merupakan peluang empuk bagi siapa saja untuk melakukan penipuan yang pada gilirannya akan berwujud kemunafikan.

    Bila sudah demikian, wajar manakala bukan kekuatan sebagai hasilnya, malah kelemahan yang datang. Bukan hanya terbatas pada kelemahan yang masih bisa diatasi, tetapi justru kondisi syahadat yang demikian itulah sebenarnya yang menjadi musuh utama keberadaan umat Islam.

    Kenapa demikian? Sebagaimana kita ketahui, kekuatan islam terletak pada kepatuhan ummatnya dalam menjalankan syariat agamanya. Mengucapkan syahadat dengan benar sudah merupakan satu kekuatan, dan kekuatan itu akan terus bertambah seiring dengan pelaksanaan syariat berikutnya. Akan tetapi jika sejak dari syahadat sudah tidak beres, tidak tertancap dengan baik, maka hasilnya adalah kehancuran. Syahadat adalah pondasi. Tidak ada tiang yang bisa tegak dengan utuh, tidak ada perabot yang bisa berfungsi dengan baik, apalagi kalau diharapkan menjadi daya dukung dan kekuatan sebagaimana mestinya, tanpa tegak dan tegarnya fondasi.

    Bila mulai dari syahadatnya sudah meragukan, pasti akan mengundang keragu-raguan selanjutnya, cenderung menawar semua perintah dan larangan, mudah membantah, minimal bila mentaatinya pasti penuh dengan keterpaksaan, santai, tidak Nampak sama sekali keseriusan. Syahadat yang demikian pasti menjadikan seseorang berani menampik apa yang menjadi kewajiban sekaligus melanggar larangan. Persoalannya, kadar syahadatnya memang tidak disiapkan untuk mematuhi perintah sebagai konsekuensi lanjutan.

    Barangkali ada yang beranggapan, bersyahadat hanya sekedar ucapan formalitas keabsahan keislaman seseorang. Hanya sebagai proses awal yang harus dilalui. Bersyahadat ibarat mengisi formulir pendaftaran menjadi anggota sebuah organisasi yang dikenal selama ini. Adapaun perintah dan larangan yang menjadi syariat keseharian, itu persoalan pribadi. Tergantung diri sendiri, tidak perlu dicampuri oleh siapapun juga, sesuai dengan selera dan kesukaannya sendiri. Sebab, katanya, masing-masing kita akan bertanggung jawab sendiri-sendiri dihadapan Allah nanti. Terserah kepada masing-masing pribadi, sebab ini adalah ajaran suka rela. Begitulah irama dan bentuk berfikir mereka, yang sejak syadahatnya sebagai pangkal sudah hampa dan hambar, tidak dipahami secara persis tentang apa yang diucapkannya.

    Mutlak harus ditanamkan dan dicamkan baik-baik bahwa syahadat melahirkan ketentuan-ketentuan yang mengikat. Setelah bersyahadat pasti akan disusul dengan kewajiban-kewajiban yang tidak bisa dielakkan. Syahadat adalah permulaan dari rangkaian tugas yang berlanjut untuk sampai kepada sasaran-sasaran tertentu. Syahadat bukan kewajiban yang lepas dan terpisah berdiri sendiri, tetapi memounyai kaitan dengan sekian banyak kewajiban lain yang saling berkait dari awal hingga ujung. Syahadat bukan sesuatu yang dimulai dari ucapan seperti itu dan berakhir sampai situ. Ia merupakan awal dari sekian jalinan dan rangkaian aneka ragam tugas dan kewajiban yang sudah terprogram secara rapi. Syahadat yang demikian dijamin dapat menyelesaikan sesuatu yang mempunyai nilai serta arti yang sangat besar bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

    Disini, mulai terbayang jawaban pertanyaan yang menggoda sekian lama, kenapa wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan kalimat eksplisit yang tajam memerintahkan orang untuk memulas proses keislamannya dengan mengucapkan kalmat syahadat. Makin mengertilah kita, kenapa wahyi pertama adalah anjuran dan bimbingan serta pola acuan, metode dan system berfikir yang begitu sederhana kerangka dan sistematikanya. Disana Nampak bahwa bukan langsung pengucapannya yang paling menentukan, tetapi yang lebih penting justru proses yang melahirkan pengucapan tersebut.

    Melalui kerangka berfikir yang ditawarkan oleh wahyu pertama ini, diaharapkan akan lahir kesadaran bersyahadat yang diucapkan dengan mantap, penuh keyakinanm yang dijamin tidak akan pernahgoyah ditengah perjalanan walau menghadapi risiko dan tantangan.

    Sikap bersyahadat seperti itulah yang sesungguhnya merupakan kekuatan dasar yang akan menjadi kekuatan konkrit bila ada yang mampu memanfaatkannya dalam bentuk program praktis.

    Disinilah tragisnya. Disamping syahadat yang ada tidak melahirkan peningkatan murti keberadaan umat, mereka yang diserahi amanat sebagai pemimmpin umat tidak berhasil mengatur potensi yang ada dalam program kerja yang menampung semua kekuatan yang tersedia. Akibatnya, umat Islam hanya kellihatan banyak dalam kuantitasm tetapi berhamburan menjadi sesuatu yang kehilangan daya kekuatan nyata. sunggh tragis, kekuatan umat Islam justru lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak lawan untuk menentang Islam sendiri. Pengorbanan dan potensi yang ada pada diri umat Islam tidak memberi dukungan sedikitpun juga pada upaya terwujudnya kehidupan yang Islami.

    Sekali lagi, semuanya bermula dari syahadat yagn tidak berhasil diwujudkan sebagaimana mestinya. Syahadat yang mandul, tidak melahirkan apa-apa. Semua orang tentu bisa dengan mudah menghafal dan melafalkannya. Ada kesempatan yang empuk bagi yang mau menyalahgunakannya. Adalah kesempatan yang di tunggu-tunggu oleh munafiqun modern. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau umat Islam yang mayoritas justru yang seperti itu keadaannya.

    Betapa dan bagaimanapun banyaknya jumlah umat Islam, berapa pintarnya mereka secara individu, bahkan betapapun kaya rayanya para personil manusianya, semuanya itu belum merupakan kekuatan yang dapat dijaminmemberi daya dukung yang menolong pencapaian cita-cita, sebelum syahadat mereka semua eksis sebagaiman mestinya.

    Dengan demikian, kiranya dapat disepakati untuk menjadikan kajian syahadat sebagai upaya paling mendesak disamping program yang mendesak lainnya. Sebab, bila syahadat umat sudah beres, tidak ada yang sulit. Semua masalah yang selama ini dianggap problem, sebagai tantangan akan terasa sangat mudah diselesaikan. Syahadat adalah kuncinya. Disinilah sumber penyakit umat sekian lama, sehingga dari sini juga perbaikan harus dimulai.

    Segala macam upaya harus dilakukan sekuasa kita. Segala macam media harus dimanfaatkan untuk pekerjaan itu. Harga dan martabat umat akan terangkat dengan sendirinya bila syahadat mereka eksis dan beres semua.

    Insya Allah, nantinya, mereka bukan saja disegani, bukan saja diperhitungkan, bukan saja diikutsertakan dalam semua kegiatan strategis, tetapi justru akan tampil sebagai penentu.

 *Ditulis persis dari Buku "Kuliah Syahadat-Membentuk Generasi Siap Menerima Titah Ilahi" oleh Ust Abdullah Said. (Pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah)

Seri Kesepuluh - Pernyataan Menuntut Kenyataan -

Dalam beberapa ayat yang disebut aamanuu, teriring pula kata wa ‘amilush-shaalihat. Kenapa? Karena Islam bukan agama kebatinan yang cukup di...