Minggu, 09 April 2023

Seri Kesepuluh - Pernyataan Menuntut Kenyataan -


Dalam beberapa ayat yang disebut aamanuu, teriring pula kata wa ‘amilush-shaalihat. Kenapa? Karena Islam bukan agama kebatinan yang cukup di batin saja. Islam juga bukan agama lisan, yang cukup hanya diucapkan saja. Islam adalah agama amal yang dilandasi oleh suatu keyakinan yang utuh.

 

Membuktikan kebenaran syahadat tidak sebatas penyataan saja. Pernyataan itu hendaknya tidak hanya di bibir, tetapi harus wujud dalam amal nyata, berupa amal shalih.

Itulah sebabnya dalam beberapa ayat yang di sana disebut ‘aamanuu, teriring pula kata wa ‘amilush shaalihat. Kenapa? Karena Islam bukan agama kebatinan yang cukup dibatin saja. Islam juga bukan agama lisan, yang cukup hanya diucapkan saja. Islam adalah agama amal yang dilandasi oleh suatu keyakinan yang utuh.

Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, syahadat adalah sumber kekuatan yang dahsyat. Ia merupakan letupan yang menyemburkan berbagai energi. Karenanya tidak mungkin hanya sebatas pernyataan saja. Ia harus melahirkan karya nyata.

Ia bukan sembarang kerja, tidak asal beramal nyata di lapangan. Selain serius bekerja, harus nampak pula nilai tambahnya. Harus terasa kalau kekuatan yang mendorongnya adalah iman. Karenanya dituntut untuk mengadakan terobosan-terobosan yang menakjubkan, minimal melampaui ukuran biasa.

Program kerja yang dimunculkannya tidak sekedar muncul lnatas hilang dari peredaran. Kelangsungannya tidak terputus-putus, tapi berkesinambungan dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari satu masa ke masa berikutnya, dan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Sehingga terlihat kalau kekuatan yang memotorinyatak kunjung habis. Itulah kekuatan iman. Ada dana atau tidak tetap harus jalan. Ada fasilitas atau tidak ada tetap harus gerak, apapun dan bagaimanapun bentuknya.

Bila iman betul-betul sudah merasuk ke dalam hati, akan terasa sulit untuk diam, meski hanya beberapa saat. Ia yang kerasukan iman punya kepedulian yang cukup besar. Ua akan sibuk mengurusi orang-orang di sekitarnya. Baginya, apasaja yan gada di sekitarnya menarik perhatiannya. Yang baik akan didukung, yang salah diperbaiki dan dibenahi untuk dapat disempurnakan lebih baik lagi.

Bagaimanapun buruknya situasi dan kondisi, ia akan terus bekerja dan berkarya. Tidak ada alasan untuk berhenti. Diintipnya setiap peluang, betapapun kecilnya. Bahkan kalau perlu ia sendiri yang mengusahakan adanya peluang tersebut, entah dengan cara apa. Maklumlah, iman sebagai sesuatu kekuatan akan terus bergerak menuju sasaran menurut posisinya sendiri. Tidak ada alasan untuk mengeluh, sebab mengeluh itu bukan bahasa iman. Keluhan itu pantangan bagi orang yang sudah menyatakan beriman. Tabu.

Sifat orang yang beriman adalah optimis. Dalam kondisi yang sejelek apapun, dia tetap punya harapan. Sebab wujud iman adalah keyakinan akan keberadaan Allah yang Maha Kuasa, yang Maha Pemurah, yang Maha Tahu Segalanya. Karenanya tidak ada yang perlu dikeluhkan, sebab Allah tetap berkuasa begaiamanapun dan betapapun jeleknya keadaan. Sehingga ia yakin setiap saat bisa saja terjadi kejutan dan keajaiban bila Allah Subhanahu wa ta’ala sudah menghendaki. Cukup bagi-Nya berkata kun, maka jadilah apa yang dikehendaki.

Tugas manusia hanya mengundang perkenan-Nya saja. Bukan berarti tanpa usaha, sebab Allah akan berkenan memberikan sesuatu kepada kita tergantung amal usaha yang telah kita laksanakan. Akan tetapi harus diyakini bahwa bukan amal usaha itu yang menentukan berhasil tidaknya, tapi tetap Allah lah yang menentukan segala-galanya. Mana yang paling baik bagi Allah itulah yang terjadi. Manusia tidak lebih tahu dari-Nya. Manusia paling hanya bisa menduga-duga, namun Akkah jua yang menentukannya. Itulah sebabnya, seorang mu’min tidak dibenarkan menolak tugas hanya karena sulit dan berat menurut perkiraannya.

Yang perlu dilakukan ialah terus meningkatkan kualitas imannya untuk kemudian tampil menantang diri mencari tugas dan tanggung jawab. Dituntut satu keberanian untuk melakukan uji coba sejauh mana kekuatan iman yang sudah dimilikinya. Kita harus berani mengukur sejauh mana iman kita dapat memberi daya dukung dalam melakukan terobosan dan kejutan.

Kalau perlu pekerjaan yang dikatakan orang mustahil dapat kita selesaikan, kita jadikan tantangan untuk mewujudkannya bila itu akan mendatangkan kemaslahatan bagi umat dan misi perjuangan itu sendiri. Justru pekerjaan – pekerjaan menantang itulah yang akan dapat mengantarkan kita merasakan nikmatnya iman, melalui bantuan Allah, Ijabah do’a, keterlibatan tentara Allah atau malaikat-Nya.

Bersambung.

Minggu, 05 Maret 2023

Seri Kesembilan - Tuntutan Sebuah Pernyataan -

 



Perlu dipertegas agar jangan muncul perkiraan bahwa syahadat itu seekedar sebuah pernyataan, yang tidak berbuntut apa-apa. Hati-hati, karena sikap inilah yang menjadi biang utama kelemahan umat Islam sekian lama.

Sebuah pernyataan, dalam soal dan bentuk apapun, pasti menuntut risiko dan konsekuensi. Begitulah sebuah syahadat.

Pernyataan cinta sebagai misal paling sederhana, sudah menuntut kesetiaan, kejujuran serta pelayanan di samping pengorbanan. Begitu juga pernyataan seseorang untuk menjadi anggota salah satu organisasi sosial, pasti diikuti oleh berbagai ikatan yang merupakan kewajibannya. Ia harus menjaga nama baik organisasi, melaksanakan program operasioanl, membayar iuran, bahkan kadang harus berseragam pula pada waktu-waktu tertentu.

Bila pernyataan cinta saja sudah mengikat, sebagaimana pula pernyataan menjadi anggota organisasi, apalagi pernyataan syahadat, yang menyentuh berbagai hal yang sangat mendasardi dalam kehidupan ini.

Hal ini perlu dipertegas agar jangan muncul perkiraan bahwa syahadat itu sekedar sebuah pernyataan, yang tidak berbuntut apa-apa. Harap hati-hati, karena sikap inilah yang menjadi biang utama kelemahan umat Islam sekian lama.


Pagi hari dalam kepungan berbagai peluang kebaikan.

Bersambung

Rabu, 01 Februari 2023

Seri Kedelapan - Me-landing-kan Syahadat

 


Memperjuangkan tegaknya kebenaran dan lestarinya kalimah La Ilaha Illallah, memang tidak sedikit rintangan dan kendalanya, tapi kita harus yakin bahwa “kemenangan ‘ pasti akan dianugerahkan kepada kita. Asal kita tetap konsisten atas dukungan keyakinan yang berkualitas tinggi.

                Sejarah telah mencatat, dengan kalimat la ilaha illallah sebagai titik tolak, senjata dan benteng pertahanan, nabi-nabi, rasul-rasul dan para pengemban misi al haq telah meraih keberhasilan luar biasa dari kurun ke kurun. Dan menegakkan panji-panji kemengangan di relung-relung kalbu manusia.

                Kendatipun perjalanan menuju kemenangan itu harus ditandai dengan bilur-bilur penderitaan dan pengorbanan yang tiada terperi dalam bentuk yang sangat bervariasi.

Nabi Nuh harus bersabar mengarungi samudera perjuangan yang diwarnai cai-maki, olokan dan teror mental lainnya selama sembilan setengah abad.

                Nabi Ibrahim, dituntuk memiliki mental baja mengahadapi Namruz. Juga tidak sepi dari caci maki dan berbagai teror mental. Terakhir tidak boleh tidak, Ibrahim harus menjalani eksekusi raja Namruz, diterjunkan ke tengah-tengah lautan api.

                Nabi Luth. Begitu berat beban tanggung jawab kerasulan yang dipikulnya. Sementara umatnya terlibat dalam perbuatan mesum: homo seksual. Kepalanya pusing dan nafasnya terasa sesak; segala macam cara telah ditempuh untuk menghentikan perbuatan yang mengundang laknat Allah itu, taou tak kunjung berhasil. Lebih fatal lafi karena ternyata sang istri main selingkuh di balik layar dan memberi angin kepada umatnya untuk menggalakkan pelanggaran itu.

                Nabi Yusuf. Manusia termolek di dunia ini harus tabah mendekam dalam penjara bertahun-tahun oleh raja yang tengah berkuasa. Ulah sang first lady yang oleh karena tidak berhasil mempengaruhi yusuf untuk melampiaskan nafsu birahinya, lalu ia membalik keadaan; menuduh yusuf ingin merusak kehormatannya.

Nabi Musa. Menjadi buronan untuk dihabisi nyawanya. Karena Fir’aun penguasa yang hiper sombong itu telah mulai melihat pada diri Musa adanya gejala yang tidak menolong. Terakhir dikejar dan dikepung hingga terpepet ke tepi pantai yang secara pandangan lahiriah, Musa bersama pengikutnya sudah harus terkubur semua.

                Nabi Sulaiman. Lain lagi tantangan yang dihadapinya. Dia harus mampu mengendalikan diri di atas limpahan harta dan kekuasaan. Mampukah dia bersyukur dengan karunia itu? Atau lupa daratan? Inilah perjuangan berat yang dihadapinya setiap saat.

                Demikian halnya dengan nabi-nabi yang lain sampai kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam. Ternyata memperjuangkan landing-nya kalimat laa ilaha illallah ini di atas pelataran kehidupan manusia tidaklah mulus. Namun satu hal yang pasti bahwa kemenangan terakhir selalu jatuh di tangan penegak misi al-haq. Semua kubu pertahanan tirani dan pilar-pilar kebatilan runtuh satu demi satu digebrak oleh kebenaran yang dibawa pejuang -pejuang Allah subhanahu wa ta’ala itu.

                Kemenangan Nabi Nuh ditandai dengan datangnya banjir besar yang menyebabkan penantang-penantangnya tertelan gelombang yang menggulung setinggi gunung.

                Nabi Ibrahim mendapatkan kemenangan justru pada saat dibakar itu. Manusia-manusia yang tadinya terpaku dan gentar atas kekejaman Namruz, membelot kepada Ibrahim melihat kekuasaan Allah yang terdemonstrasikan di depan mata mereka. Mulai saat itu raja yang dhalim itu tidak bisa lagi berbuat apa-apa.

                Nabi Luth, mendapatkan kemenangannya berupa pertolongan Allah dengan gempa dahsyat yang membalik negeri tempat berpijak kaum durhaka itu, justru pada saat Sang Rasul itu sudah kehabisan akal dan cara.Nabi Yusuf, memperoleh kemenangan besarnya setelah meringkuk bertahun -tahun dalam penjara dan diisolasi oleh penguasa dengan beralihnya kekuasaan dan palu kepemimpinan ke tangannya.

                Nabi Musa menyaksikan di depan matanya bagaimana Fir’aun tenggelam bersama pendukung-pendukungnya di laut merah saat mengejar musa dan pengikut-pengikutnya karena nafsunya yang ingin menghabisi riwayatnya.

                Demikianlah halnya Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam bersama sahabat-sahabatnya. Sulit sekali diterima oleh akal kalau kemenangan dalam bentuk peralihan kekuasaan dapat dicapai, mengingat kondisi Nabi di kala memulai langkah perjuangannya. Tapi kenyataan berkata bahwa kemenangan memang betul-betul dapat diraih dan diraup.

                Nabi Sulaiman menaikkan bendera kemenangan mengemban risalahnya karena berhasil lolos dari godaan harta yang menyebabkan banyak orang terjerembab.

                Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam memerlukan waktu 13 tahun di Makkah untuk memantapkan kalimat Laa ilaha Illallah hingga merasuk ke relung kalbu; mendominasi denyutan jantung dan aliran darah serta dengusan napas. Barulah setelah itu Nabi berani berhijrah untuk memulai suatu era baru dalam perjuangan.

                Dan kita harus syukuri bahwa kemenangan yang dijanjikan ituu pelan-pelan diberikan kendatipun bentuknya tidak persis seperti yang diperoleh pejuang-pejuang yang menhadului kita karena bentuk kemenangan itu sangat bervariasi sebagaimana variasinya bentuk pengorbanan yang diberikan.

                Di pondok pesantren Hidayatullah, kami mencoba sekuat kemampuan untuk me-landing-kan kalimat Laa ilaha Illallah ini di hati warga, lalu dengan segala susah payah kami mencoba mengaplikasikan dalan kehidupan keseharian mereka. Alhamdulillah, rasanya kufur nikmat kalau tidak mensyukuri hasilnya.

                Kami telah mulai merasakan betapa indah sebenarnya Islam ini dibalik kesulitan demi kesulitan yang menyertainya. pelan-pelan sudah mulai dapat dibuktikan bahwa janji-janji  Allah Subhanahu wa ta’ala itu memang bukan sekedar panji; bukan sekedar statemen tanpa makna.

                Kami sudah memiliki keberanian menyatakan bahwa: nyatakan tiada Tuhan selain Allah, pasti menang. Karena bukti-bukti telah dapat kita tunjukkan, kendatipun belum seberapa.

Minggu, 25 Desember 2022

Seri Ketujuh - Gambaran Syahadat yaang Potensial

 



Dengan motivasi sebagai khalifah, semangat dan gairah turun ke lapangan mengambil alih sekian banyak tanggung jawab akan lebih tinggi, sebab menyangkut kondite di mata penilaian Allah.

               Membayangkan apa yang dilakukan Allah dalam al-Qur’an, mengenaik kehebatan dan keunggulan iman seperti didemonstrasikan oleh kaum mu’min, serta penjelasan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang lebih dipertegas begitu tajam, begitu gamblang, sangat merangsang kita untuk juga menikmatinya.

               Termasuk yang dijadikan motto majalah Suara Hidayatullah: ‘Nyatakan tiada illa selain Allah, pasti menang’. Motto itu sungguh membuat kita penasaran. Semudah itukah kemengangan bisa dicapai, sekedar mengucapkan kalimat yang sangat sederhana itu, sudah jaminan kalau pasti menang.

               Itu yang dicari, dan diperlukan, sebab kenyataan berkata tidak. Jangankan kemenangan pada semua front perjuangan, bayangan dan tanda kemenangan itupun tidak terlihat. Bahkan disana-sini kita temukan bukan saja kekalahan, tetapi hampir merupakan kehancuran yang fatal.

               Syahadat yang tidak beres, itu yang paling tepat, kalau diukur dengan apa yang terjadi di lapangan. Sebaiknya kita mengaku secara jujur, bahwa syahadat kita selama ini belum melahirkan kehebatan. Semua berjalan dan bahkan berlalu tidak dengan kesan membekas tajam. Tidak ada goresan yang memberi nilai tambah. Semua terasa biasa-biasa saja.

               Itu yang sulit kita terima. Mana mungkin ungkapan yang dijamin punya kehebatan luar biasa tidak memberi goresan dan kesan yang membekas dengan kadar kehebatan yang tercermin dalam jiwa, dan sikap kehidupan sehari-hari.

               Para sahabat di zaman Rasulullah masing-masing tampil dengan keunggulan yang luar biasa. Mengangumkan, dan sangat menakjubkan. Penuh dengan ha yang mengundang pengakuan dan penghargaan. Hampir semuanya serba luar biasa.

               Padahal itu semua terjadi pada saat kajian mereka baru pengantar syahadat yang benar. Akan tetapi kepatuhan mereka sudah luar biasa, nyaris uslit dapat di menegerti kalau itu semua bisa terjadi. Meskipun yang mereka ketahui, atau kaji baru berkisar pada syahadat, namun sudah cukup nilai tambah yang berhasil mereka perlihatkan yang terlalu sulit untuk dilakukan oleh mereka yang belum bersyahadat.

               Kualitas ini hampir merata dalam barisan para sahabat. Kendatipun cukup bervariasi dalam bentuknya, tetapi merata dalam mutunya. Nampak dalam sikap keseharian bahwa mereka sudah menemukan secara pasti apa yang sesungguhnya mereka cari.

               Mereka merasakan sangat beruntung  mendapatkan karunia semahal itu. Mereka termasuk diantara yang dipilin oleh Allah memperoleh keberuntungan itu, sehingga merasa sangat berhutang budi atas kemurahan Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak heran kalau untuk ini itu seluruh diri dan miliknya siap dikorbankan di jalan Allah Subhanahu wa wa’ala. Kalau melihat yang demikian, sebenarnya hal itu menjadi sesuatu yang wajar saja.

               Ada jaminan yang sangat meyakinkan, bahwa hari depan mereka cerah sehingga tidak perlu lagi cemas terhadap nasibnya besok. Bayangan surga selalu menggoda, muncul setiap saat dalam bayangan yang menggiurkan, sangat menyenangkan. Membayangkan kenikmatan di surga itulah, membuat mereka tidak tergoda lagi kenikmatan dunia. Tidak ada lagi yang terlalu menarik, menyita pikiran terlalu banyak sebagaimana orang lain yang belum menikmati potensi syahadat tersebut.

               Kita tidak perlu heran melihat sikap mereka yang terkadang seperti acuh terhadap dunia. Bukan mengada-ada tetapi persis seperti itulah hakikat keberadaannya, sebagai wujud kualitas keyakinannya. Bagi mereka buat apalagi harus mengejar dan membuang waktuhanya sekedar untuk kenikmatan materi di dunia toh nanti pada akhirnya pasti akan ditinggalkan juga. Apalagi semua kenikmatan materi akan dituntut pertanggungjawabannya dihadapan Allah Subhanahu wa ta’ala. Untuk apa mengumpulkan harta yang kadang bisa jadi hambatan, ancaman, halangan, atau minimal mengurangi kadar kebahagiaan kelak nanti di akhirat.

               Di sinilah letaknya kenapa dibalik kewajiban bersyahadat itu, terundang keharusan penajaman serta penyegaran tugas sebegai khalifah setiap saat.

Aneh memang kedengarannya, tetapi tidak. Bahkan mereka menilai manusia yang terlalu sibuk mengumpulkan harta hanya sekedar kenikmatan di dunia tanpa mempersiapkan dirinya untuk mencicipi kebahagiaan kelak nanti di akhirat, bukan saja aneh, tetapi malahan terheran-heran iba, sebab hal tersebut baginya adalah ketidakwarasan alias gila. Sebab sesuatu yang akan ditinggalkan justru yang membuat sibuk, sementara yang pasti dan kekal abadi malahan tidak mendapat perhatian yang wajar. Terlalu sulit untuk mereka terima pemikiran yang tidak logis itu.

Dalam kedudukannya sebagai hamba, ia tidak berharap apa-apa kecuali dekat kepada Allah. Itulah pemikiran dasarnya. Akan tetapi dalam posisinya sebagai khailfatullah di muka bumi ini, mereka berusaha semaksimal mungkin mencapai Kondite paling baik di mata penilaian Allah Subhanahu wa ta’ala, dengan mengambil banyak tanggung jawab, berusaha mencapai kondisi yang memungkinkan mereka bisa berbuat baik sebanyak mungkin. Sehingga tidak heran manakala merekapun tampil berkibar-kibar di lapangan. Bukan lagi untuk kepentingan dirinya, tetapi oleh rasa tanggung jawabnya, oleh tugasnya sebagai khalifah. Itu saja yang membuatnya masih tampil di lapangan.

Kalau untuk dirinya tidak ada lagi persoalan. Baginya sudah selesai, yang dia cari sudah ditemukan, tinggal menekuninya saja. Sederhana sekali format berpikirnya bila untuk dirinya. Untungnya, Allah telah menetapkan dua status, dua fungsi. Disamping sebagai hamba juga sebagai khalifah, yang mengimbangi kecendrungan untuk asyik dengan kebahagiaanya seorang diri saja, mendekatkan dirinya kepada Allah yang memang dicarinya, dengan kiprahnya kepada sesamanya.

Kekhawatiran kalau pikir berlandaskan syahadat yang mantap akan membunuh atau mengurangi kreatifitas, karena gairah kepada kenikmatan dunia sudah sekali voltasenya, adalah tidak benar. Sebab tugas sebagai khalifah mendorong mereka turun kelapangan dengan  motivasi yan glebih tinggi, daripada motivasi yang hanya dikarenakan oleh kenikmatan dunia semata.

Memang ada beberapa orang yang terjebak oleh pemikiran dasar tadi. Mereka hanya asyik beribadah untuk dirinya, tidak mengimbangi atau melengkapinya dengan aplikasi tugasnya sebagai seorang khalifah di muka bumi. Sehingga memberi citra yang cukup negatif, yang sering dibesar-besarkan oleh mereka yang memang sengaja memberi gambaran negatif terhadap Islam.

Inilah yang kemudian dijadikan alasan mereka yang tidak bisa konsekuen dan konsisten dengan ajaran Islam. Mereka menganggap, kalau terus berpegang kepada prinsip Islam tidak akan ada kemajuan, sebab jadinya kita pasrah dengan realitas, sambil tinggal menunggu ajal saja. Ajaran Islam sama sekali tidak demikian wujudnya.

Malahan sebenarnya dengan motivasi sebagai khalifah, justru semangat dan gairah turun ke lapangan mengambil alih sekian banyak tanggung jawab akan lebih tinggi, sebab menyangkut kondite di mata penilaian Allah.

Posisi kekhalifahan menuntut mereka memanfaatkan semua waktu dan fasilitas secara maksimal, untuk penyebaran dan pencipataan kondisi rahman dan rahim bagi semua umat manusia. Di samping tugas lain yang lebih berat lagi, yaitu mengusahakan supaya kehidupan di muka bumi ini betul-betul Islami, paling tidak semua orang merasakan dan menyaksikan betapa nikmat dan manusiawinya kehidupan yang islami itu.

Prinsip hidup ini sangat ideal. Dua tugas dan kewajiban yang sama-sama pentingnya ternyata saling menopang. Karena sadar betapa beratnya tugas sebagai khalifah mendorong mereka untuk terus mendekatkan diri kepada Allah supaya memperoleh tambahan kekuatan. Sehingga ibadahnya pun jadi bertambah sebagai upaya menyerap potensi Ilahiyah dan Rabbani.

Kekuatan tambahan yang mereka miliki, dirasakan sebagai amanat yang harus di manfaatkan untuk semua umat manusia bahkan untuk segenap alam ini. Tidak terbatas guna kepentingan orang Islam saja, tetapi lil ‘alamiin, lewat berbagai macam usaha dan proyek pembangunan serta perjuangan.

Dengan motivasi yang berbeda, merekapun turut membaur dengan orang lain melakukan kegiatan, pada sektor ekonomi umpamanya. Kalau orang lain tenggelam sehari penuh mencari uang karena diperbudak oleh harta, mereka dengan modal syahadat melakukan hal sama tetapi bukan karena sebagai budak tetapi sebagai khalifah yang punya tanggung jawab kepada Allah subhanau wa ta’ala.

Merebut posisi dan jabatan umpamanya, seperti halnya berusaha mendapatkan kekayaan, semuanya bukan karena ambisi pribadi, semuanya hanya karena tugas, semata karena kewajiban. Menambah pengetahuan, melanjutkan sekolah dan pendidikan sama halnya, adalah dalam rangka untuk dapat mewujudkan tugas kekhalifahannya.

Hanya dengan terus meningkatkan kemampuan pada semua sektor kehidupan, yang menyangkut ekonomi, politik, intelektualitas serta fasilitas di samping kemampuan manejemen organisasi dan semacamnya, barulah ada kemungkinan tugas kekhalifahan dapat dilaksanakan dengan baik dan sempurna.

Tetapi manakala kita serba kekurangan dalam hampir semua hal, jangankan tugas khalifah yang dapat kita wujudkan, tugas sebagai hamba pun bisa terbengkalai.

Menghadapi kemungkinan yang seperti itu pulalah sebenarnya, sehingga syahadat tidak mungkin bisa ditawar, harus mengawalai secara prinsip  proses keislaman seseorang. Itu pula sebabnya sehingga Rasulullah menganjurkan iman yang menjadi kandungan dari syahadat itu perlu diperbarui selalu, dengan lebih sering dan lebih banyak mengucapkan kalimat tersebut. Tentu saja dengan penghayatan makna dan isinya, sebagai upaya menghadang kemungkinan yang disebutkan tadi.

Jelas tidak cukup hanya dengan mengulang-ulang kalimatnya saja tetapi harus diambil langkah-langkah pengamanan, sebagai upaya antisipasi yang kongkrit, dan wujud adanya sikap konsekuen terhadap statemen dan seluruh makna yang dikandung oleh kalimat syahadat tersebut. Adalah tidak bertanggung jawab bilamana membiarkan diri hanyut dan hancur dalam kondisi serba kekurangan dan hanya pasrah menyerahkan diri sepenuhnya kepada takdir ketentuan Allah saja, tanpa ada upaya nyata, pada saat masih ada kemampuan untuk mengambil inisiatif.

Mungkin saja secara pribadi untuk jangka tertentu bisa bertahan konsekuen dengan syahadat, tetapi untuk waktu yang lebih lama, untuk istri dan anak kita, untuk yang lain ada kaitan hidupnya dengan kita, tiada jaminan untuk kita katakan bisa bertahan seperti yang diinginkan.

Disinilah sesungguhnya gambaran daripada apa yang dimaksud dengan konsekuensi syahadat tersebut. Jelas kalau dengan ucapan saja, tidak mungkin adanya syahadat yang potensial, sulit dijamin kualitasnya, bahkan hanya membuka peluang kemunafikan bagi mereka yang sesungguhnya belum menghayati persis makna syahadat.

Berbeda halnya di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Semua orang langsung menyaksikan apa akibat yang harus diterima bagi mereka yang bersyahadat. Mereka harus mempersiaokan diri untuk itu. Mereka harus mengerti dan paham betul-betul kalai ucapan syahadatnya tersebut merupakan awal dari suatu kisah panjang yang mengguyur air mata dan darah, sehingga tidak mungkin seenaknya orang mengucapkan syahadat.

Dengan demikian tidak mungkin ada orang yang mengucapkan syahadat dengan main-main, sebab ini bukan permainan. Ucapan ini meminta dan menuntut nyawa sebagai taruhan. Kalau tidak siap pikirkan dulu baik-baik, pertimbangkan ulang, jangan gegabah, jangan keburu, sebab cerita syahadat tidak berakhir sampai disitu.

Itulah sebabnya, orang-orang Islam di zaman Nabi rata-rata memperlihatkan kualitas yang mengagumkan. Sebab mereka mengucapkan syahadat dengan mental siap menerima segla resiko, bagaimanapun berat dan pahitnya, sampai kepada maut sekalipun. Mereka sangat siap, apalagi kalau hanya sekedar pengorbanan harta dan tenaga saja. Semuanya itu belum merupakan pengorbanan, belum seperti yang dicatat dalam sejarah seperti Nabiyullah Ibrahim atas anaknya.

Dengan syahadat tersebut pada hakikatnya mereka telah menjual diri sepenuhnya kepada Islam untuk dimanfaatkan buat kepentingan Islam. Kalau namanya tugas dan kewajiban untuk Islam tidak ada dan tidak mungkin ada yang ditawar. Mereka menganggap tidak punya hak lagi sama sekali pada dirinya, sebab seluruh dirinya adalah untuk Islam semata.

Bahkan adanya kesempatan baginya berkorban justru merupakan nilai tambah kebahagiannya. Sebab hanya dengan itu mereka berkesempatan mengujicoba dan membuktikan keaslian dan keabsahan serta mutu syahadatnya. Baginya, hidup yang masih sisa adalah peluang menambah dan meningkatkan kadar kualitas syahadatnya. Dengan memberi pengorbanan sebanyak-banyaknya sebagai jaminan untuk meraih kenikmatan yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala.

Demi dan untuk kepentingan kelak nanti di akhirat tidak ada tugas yang ditawar, tidak ada beban yang ditampik. Yakin dan percaya sepenuhnya kalau di sanalah hidup yang sesungguhnya, di sanalah hidup yang kekal abadi, sementara hidup yang di dunia ini karena sifatnya sementara justru adalah tempat mempersiapkan bekal untuk kepentingan hidup kelak nanti di sana. Dunia adalah tempat berjuang buat kepentingan hidup yang lebih nyata di akhirat, bukan tempat menikmati. Nikmatnya justru berjuang dan berkorban itu.

Kadang memang terkesan aneh, sulit sekali diterima oleh akal standar biasa yang sudah umum berlaku. Bagaimana mungkin tidak memerlukan lagi apa yang orang pada umumnya mabuk dan sangat gila mengejarnya siang dan malam? Mereka sudah melampaui tahapan-tahapan tersebut.

Terlalu kasar barangkali kalau kita umpamakan perbandingan antara orang yang beum bersyahadat dengan yang telah bersyahadat. Sebagai misal antara anak-anak dan orang dewasa yang betul-betul sudah sangat dewasa.

Anak-anak sangat memerlukan barang mainan dan baginya sangat berharga sekali, tetapi bagi orang dewasa sudah lain yang mereka perlukan. Sesuatu yang jauh lebih berharga daripada mainan tersebut, yang bagi anak-anak pikirannya belum sampai. Perbedaan penilaian itu akibat adanya perbedaan tingkat kedewasaan dan kadar pemahaman.

Syahadatlah yang membuat mereka lebih dewasa dalam menilai kehidupan ini sesungguhnya. Tingkat kualitas syahadat yang menentukan kadar kedewasaan seseorang di dalam hal ini. Para sahabat merupakan contoh manusia dengan tingkat kedewasaan yang bermutu tinggi.

Bersambung..

Musim liburan namun coba tetap menjaga keistiqomahan walau mengalami keterlambatan.

Selasa, 01 November 2022

Seri Keenam - Dengan Syahadat Menjaring Potensi Ummat

 


Syahadat mampu menjalin, menjaring dan mengikat potensi yang berserakan menjadi satu potensi yang riil dan kongkrit. Bahkan tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa kelemahan yang ada, bisa disulap menjadi satu kekuatan dengan syahadat.

               Syahadat mampu menjalin, menjaring dan mengikat potensi yang berserakan menjadi satu potensi yang riil dan kongkrit. Bahkan tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa kelemahan yang ada, bisa disulap menjadi satu kekuatan dengan syahadat.

               Aneh memang kedengarannya, tetapi sesunggunhnya nyata. Ajaib memang, tetapi begitulah Islam sesungguhnya.

               Bukankah sejarah telah berbicara sekian lama, semenjak awal kehadiran Nabiyullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wasallam dari satu peristiwa ke peristiwa berikutnya, menjadi saksi nyata yang mendukung keajaiban itu, walaupun sebenarnya adalah hal yang wajar-wajar saja, bahkan sangat wajar.

               Sangat wajar kalau syahadat yang sudah dimengerti nilainya, serta peranannya dan hasil kerjanya. Yang aneh dan ajaib  justru kalau umat Islam tidak seperti itu, tidak punya kekuatan yang menentukan situasi dan kondisi.

               Upaya memantapkan kembali syahadat yang dikebiri sekian lama, bukan kerja ringan. Tetapi, kalu dimulai dari sekarang, apalagi kalau berhasil mengundang semua pihak turut memberi perhatian serius, kita yakin nantinya pasti membuahkan hasil yang dapat dinikmati bersama.

               Banyak yang telah dilakukan umat Islam selama ini, tidak bisa disangkal hasilnya, cukup berarti. Akan tetapi, ada semacam ratapan dibalik keberhasilan tersebut, posisi dan kadar kualitas umat terlalu jauh dari pada yang semestinya dapat dicapai di berbagai tempat di dunia ini.

               Karenanya, dengan tidak mengurangi arti amal usaha serta perjuangan umat Islam selama ini, kita coba sodorkan perhatian kepada sektor atau segi yang selama ini kurang menarik perhatian umat Islam sendiri.

               Paling tidak semacam ajakan kepada umat untuk kembali menilai ulang kondisi syahadatnya. Kita khawatir kalau saking lamanya tidak ada kontrol pemeriksaan, kondisi syahadat yang kita punyai sudah dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

               Kalau kadar syahadat kita sudah tidak mampu lagi menyentakkan kita untuk segera bergegas pergi shalat pada saat azan kedengaran, sudah indikasi tidak validnya sang syahadat. Itu satu pertanda kalau syahadat itu punya kelainan, sudah sakit.

               Keadaan seperti ini sudah hampir merata di kalangan umat Islam, bahkan sesungguhnya sudah lebih parah dari pada yang kita bayangkan. Di antara mereka, bahkan mayoritas sudah sampai pada penilaian yang amat keliru terhadap Allah. Tidak heran kalau enak saja mereka lalaikan ketentuan-ketentuan Allah padahal mereka sebenarnya tahu.

               Mengkaji syahadat, berarti kampanye mengenalkan Allah kembali dalam kehidupan keseharian kita, sebagai faktor yang paling menentukan. Itu berarti upaya menempatkan Allah pada proporsi yang sebenarnya.

 

Bersambung.

Pagi Hari diiringi lantunan suara hafalan anak-anak SD.

Senin, 10 Oktober 2022

Seri Kelima - Reaktualisasi Syahadat.

    

Dunia kini mengalami krisis moral yang terparah sepanjang sejarah perjalanan ummat manusia. Hanya Islam yang dapat diharapkan menyelamatkan, inilah sebuah dilemma. Pada saat Islam diharapkan mampu menyelamatkan krisis moral yang terparah itu, justru disaat yang bersamaan Ummat Islam juga mengalami krisis yang tidak kurang parahnya. Ibarat dokter yang diharapkan mengobati penyakit pasiennya sementara dia sendiri juga sakit.

    Sebagai rukun Islam yang pertama, syahadat mengawali keabsahan keislaman seseorang. Jaminan seseorang pertama-tama diukur dari syahadatnya. Bahkan, pengakuan keislaman seseorang harus dibuktikan pertama-tama lewat atau dengan syahadat.

    Yang mengherankan, selama ini kenapa posisi syahadat yang begitu penting, strategis, prinsipil dan menentukan itu justru paling jarang dibicarakan. Sehingga banyak orang Islam yagn betul-betuk tidak mengerti syahadatnya.

    Akibatnya, kebanyakan mereka secara subtansial sesungguhnya belum pernah bersayahadat. Yang berarti belum melewati proses keislaman yang benar. Atau paling tidak persyaratan awal belum dipenuhi untuk dipenuhi sebagai Muslim.

    Tidak mustahil beberapa kelemahan yang kita lihat di lapangan sebagai peristiwa yang rasanya tidak mungkin terjadi pada diri umat Islam, yang memiliki pedoman kerja serta contoh pelaksanaan, justru  itulah yang terjadi. Sementara seyogyanya dimiliki justru itu yang kelihatannya sangat sulit untuk diwujudkan.

    Mungkin saja ada factor lain yang menjadi penyebab. Tetapi yang sudah pasti, factor kekeliruan dan kurangnya pemahaman yang benar terhadap peranan dab posisi serta status dan fungsi syahadat adalah biang masalah.

 

Sore Hari Ketika Istiqomah dihadapkan dengan alasan kuat untuk menunda kebaikan.
Bismillah, masih bersambung..


Senin, 12 September 2022

Seri Keempat - Dari Mana Rehabilitasi Dimulai?

 

Banyak dari Ummat Islam melihat rumus masuk syurga sebagai sesuatu yang sangat sederhana. Orang bodoh, dan miskin pun punya kemungkinan masuk surga. Anggapan ini menjadi permulaan matinya kreatifitas dan produktifitas ummat. Kekeliruan ini berpangkal pada pemahaman yang membatasi status dirinya hanya sebagai hamba saja, yang tugas dan kewajibannya cukup ditaati menurut kemampuan yang dimilikinya. Lupa akan statusnya sebagai khalifatullah di muka bumi, harus dituntut terus menerus meningkatkan potensi dan kemampuannya di dunia ini.

            Memang sulit kalau dipaksakan sekaligus. Kerja ini memerlukan waktu yang cukup lama, dituntut kesabaran yang tidak tanggung-tanggung. Tantangan terberat jsutru dari kalngan umat Islam sendiri. Kalau kurang hati-hati benturan yang merugikan diri sendiri sulit dihindari.

            Kalau umat bereaksi secara apriori dan menolak ajakan ini, merupakan hal yang wajar. Sebab kondisi yang sudah mapan itu mempunyai unsur keasyikan yang membuat orang cenderung memepertahankannya. Tidak semua gagasan baru akan mendapat sambutan positif, sebelum melihat bukti yang meyakinkan, untuk mereka terima.

            Apalagi memyangkut masalah yang sangat prinsip bagi dirinya, memyangkut persoalan dunia akhirat. Tidak mungkin dapat diselesaikan dalam waktu sekejap. Perlu dikondisikan sedemikian rupa, sehingga pada saat ditawarkan  bertepatan mereka mencari.

            Upaya mengkondisikan inilah yang membutuhkan waktu relative lama, serta cara yang ekstra. Alangkah kagetnya mereka kalau sekonyong-konyong datang tudingan menganggap syahadatnya belum sah, pada saat mereka belum siap mental untuk itu. Bahkan lebih parah bilamana anggapan itu berkonotasi pada pernyataan tidak beriman alias pengkafiran. Kesan ini yang paling mutlak dihindari, harus dijaga jangan sampai ada.

            Namun demikian, sesungguhnya kondisi ini juga cukup menolong. Sebab, sekian lama fakta berbicara bahwa nasib umat Islam dalam jumlah yang sangat besar, bahkan paling besar, tetapi dengan posisi yang tidak menccerminkan kebesaran jumlah tersebut. Bahkan dari hari ke hari perkembangan menunjukkan posisi dan nasib kita makin tidak menguntungkan, jauh lebih buruk dibandingkan masa-masa sebelumnya. Sejarah menjadi saksi bahwa posisi umat Islam semakin memprihatinkan. Kalau irama ini terus berlanjut besok akan lebih buruk lagi.

            Tentu saja ini cukup mengundang pertanyaan yang lebih serius bagi yang memperhatikan, lebih-lebih bagi yang merasakannya. Sebenarnya kondisi ini sudah cukup menolong ditinjau dari keadaannya yang termasuk kondisi dasar. Kondisi itu bisa dijadikan modal untuk menyamakan perasaan dan persepsi terhadap keadaan yang ada, untuk selanjutnya diajak untuk memperbaikinya.

            Sekarang, dari mana perbaikan itu dimulai. Ini pertanyaan yang penting sebab salah dalam memulai akibatnya memupuskan harapan keberhasilan.

            Memperbaiki kualitas umat Islam, harus dimulai dari perbaikan kualitas syahadatnya. Di sini kuncinya. Inilah yang perlu dikondisikan lebih dahulu.

            Banyak dari umat Islam melihat rumus masuk syurga sebagai sesuatu yang sangat sederhana. Orang bodoh, dan miskin pun punya kemungkinan untuk masuk surga. Anggapan ini menjadi permulaan matinya kreatifitas dan produktifitas umat.

            Kekeliruan ini berpangkal pada pemahaman yang membatasi status dirinya hanya sebagai hamba saja, yang  tugas dan kewajibannya cukup ditaati menurut kemampuan yang dimilikinya. Lupa akan statusnya sebagai Khalifatullah di muka bumi, yang dituntut terus menerus meningkatkan potensi dan kemampuannya di dunia ini.

            Seorang khalifah tidak diperkenankan untuk berpangku tangan seorang diri. Tidak diperkenankan untuk asyik memikirkan dirinya seorang. Tugasnya menyebarkan kasih saying untuk dan bagi segenap umat manusia di dunia ini.

            Dari sinilah setiap umat Islam dituntut untuk terus menerus meningkatkan kualitas dirinya daru satu tingkat ke tingkat berikutnya, supaya secara berangsur kewajibannya sebagai khalifah dapat pula mereka tunaikan lebih banyak dan lebih baik.

            Allah subhanahu wa ta’ala mendesain ajaran Islam untuk hal tersebut. Secara sistematis setiap Muslim sebenarnya sudah diantar begitu rapi untuk mencapai tingkat kemampuan itu. Bekal untuk dapat melaksanakan tugas berat ini sebenarnya sudah lengkap disediakan Allah subhanahu wa ta’ala lewat tuntunan teknis dalam ajaran Islam asal dapat dipatuhi dengan baik, dan diarahkan tajam untuk itu.

            Akan tetapi, lagi-lagi kuncinya terletak pada kekuatan dasarnya, yaitu kualitas dan potensialitas dari syahadatnya. Itu yang terlebih dahulu harus diberestuntaskan.

            Dengan demikian, bukan dan jangan Islam yang dikatakan kaku, kurang sesuai dengan kemajuan zaman, kurang cocok untuk zaman semaju sekarang. Masalahnya bukan di situ , akan tetapi itu semua akibat syahadat yang belum eksis, belum mengakar mantap, belum melahirkan kekuatan dasar.

            Timbul dan muncullah berbagai macam keluhan dan sanggahan terhadap penerapan ajaran Islam, beginilah begitulah, tidak sesuailah dengan zaman, tidak cocoklah dengan situasi, tidak relevan dengan kemajuan, dan banyak lagi keluhan dan anggapan lainnya.

            Padahal sebenarnya semua itu terjadi semata-mata karena syahadatnya belum berhasil menciptakan kondisi mentalnya untuk patuh sepenuhnya pada ketentuan ajaran Islam. Syahadatnya impoten. 

Bersambung.
Diiringi Lantunan Sholawat Jibril A.S untuk sang manusia Mulia, Nabiullah Muhammad SAW

Seri Kesepuluh - Pernyataan Menuntut Kenyataan -

Dalam beberapa ayat yang disebut aamanuu, teriring pula kata wa ‘amilush-shaalihat. Kenapa? Karena Islam bukan agama kebatinan yang cukup di...